TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Kesalahan dalam Membangun Relasi I

Kesalahan dalam Membangun Relasi I

Kode Kaset: 
T345A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

(a)Kejujuran dan keterbukaan,
(b) Kesalehan dan Kekudusan,
(c) Kejelasan dan Kefleksibelan.
Ketiga hal itu yang harus ada ketika kita menjalin relasi. Untuk lebih jelasnya, disini dipaparkan mengenai hal tersebut.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kesalahan Dalam Menjalin Relasi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, jalan menuju pernikahan memang cukup panjang dan cukup rumit sehingga ada banyak hal yang perlu kita perhatikan. Kalau pada dua sesi yang lalu kita berbicara tentang kesalahan di dalam memilih pasangan, karena kalau salah memilih pasangan ternyata juga akan menimbulkan bencana bagi pernikahan itu. Kini kita akan mendalami tentang kesalahan di dalam menjalin relasi. Karena pernikahan sendiri juga merupakan suatu relasi, relasi antara pria dan wanita, suami istri ini. Jadi hal-hal apa yang patut kita pikirkan di dalam kita menjalin sebuah relasi, khususnya dengan pasangan hidup kita.
PG : Kita memang masih dalam topik yang sama dan besar yaitu dari pacaran sampai menikah, jadi kita mencoba mengangkat hal-hal apa yang perlu diwaspadai dalam masa-masa berpacaran. Kita telah membahas bahwa kita perlu memilih pasangan yang seiman, jangan sampai akhirnya kita memilih pasangan yang tidak cocok dengan kita. Selain itu ternyata ada hal yang penting yaitu bagaimanakah kita menjalin relasi berpacaran ini. Sebab pada akhirnya apa yang kita lakukan sebelum menikah akan berdampak pada pernikahan kita itu. Jadi relasi seperti apakah yang kita jalin pada masa sebelum kita menikah, pada akhirnya akan berdampak pada relasi kita setelah menikah. Itu sebabnya saya kira kita perlu menyoroti hal-hal apa yang penting yang harus ada dan sudah tentu jangan sampai ada pada masa berpacaran di dalam kita menjalin relasi, sebab kalau sampai ada hal-hal yang tidak sehat terjadi pada masa berpacaran maka hal-hal itu nanti akan berdampak pada pernikahan kita pula.
GS : Tetapi ada banyak orang yang beranggapan bahwa sekalipun ada masalah relasi pada masa berpacaran, itu nanti bisa diselesaikan pada saat mereka menikah, begitu Pak Paul ?
PG : Masalahnya adalah biasanya sejak awal kita menjalin relasi, kita sebetulnya sedang membuat sebuah pola berelasi antara kita dan pasangan kita. Sekali pola itu terbentuk maka pola itu akan berlanjut sampai nanti kita menikah. Saya berikan sebuah contoh yang praktis, misalnya setiap kali pasangan kita marah, kita terbiasa mendiamkannya karena kita pikir tidak perlu menjawab dan biarkanlah sebab nanti menjadi panjang. Jadi kita terbiasa mendiamkan dia waktu dia marah, kita tunggu sampai dia reda dan baru kita bicara. Kalau ini terjadi dalam masa-masa berpacaran besar kemungkinan pola ini akan berlanjut sampai nanti setelah kita menikah. Jadi waktu dia marah-marah kita akan diamkan dan misalkan setelah menikah kita berkata, "Tidak mau saya diamkan dan saya harus menghentikannya dan saya harus meminta dia sekarang untuk mendengarkan saya". Bisa jadi apa yang akan kita lakukan di saat setelah kita menikah akan membuat pasangan kita tidak terima, karena dia sudah terbiasa dengan pola ini, dia terbiasa bisa mengeluarkan semua amarahnya dan kita hanya mendiamkan atau mendengarkannya. Sekarang dia tidak bisa sebab dia baru marah sedikit dan kita langsung potong, dan waktu dia marah lagi, kita menjadi marah karena dia tidak mendengarkan kita. Jadi akhirnya kita tambah marah, jadi terganggulah sebuah pola yang telah terbentuk. Dengan kata lain ini menimbulkan masalah, maka penting kalau kita pada masa berpacaran juga melakukan hal-hal yang sehat yang nantinya akan bisa menjadi benih-benih yang dapat kita tuai setelah kita menikah.
GS : Tapi bisa juga terjadi sebaliknya, pada saat mereka berpacaran mereka menyelesaikan masalah dengan diskusi dan salah satunya karena masih pacaran kelihatannya hanya mengalah jadi tidak kelihatan dia melawan, tapi setelah menikah ternyata dia mengeluarkan argumentasi yang cukup kuat dan sebagainya, pasangan yang satunya malah berbalik, yang satunya suka berdiskusi, sekarang melihat pasangannya begitu agresif dia yang tutup mulut sekarang.
PG : Dengan kata lain yang Pak Gunawan katakan adalah sebetulnya ada kecenderungan atau kebiasaan cara berelasi yang sehat pada masa sebelum menikah biasanya nanti akan mulai memudar setelah kita menikah karena yang sudah dikatakan tadi pada masa berpacaran kita masih bersikap lebih halus dan lebih santun, lebih tahu diri, lebih berhati-hati. Setelah menikah kita merasa lebih bebas diterima apa adanya dan tidak ada lagi ikatan-ikatan dan kita lebih apa adanya. Dan yang lebih apa adanya artinya adalah yang tidak enak atau buruk itu bisa keluar dengan lebih alamiah, jadi kalau begitu asumsinya dan memang sebetulnya itulah kenyataannya, kita harus berkata bahwa, "Kalau kebiasaan yang baik saja atau pola berelasi yang baik cenderung memudar atau mengendor setelah menikah apalagi kebiasaan yang buruk, tidak akan dengan otomatis hilang, tapi justru kebiasaan yang buruk itu sewaktu dibawa ke dalam pernikahan besar kemungkinannya juga akan makin memburuk".
GS : Jadi hal-hal apa yang harus kita perhatikan di dalam kita menjalin relasi, Pak Paul ?
PG : Ada empat pasang yang akan saya bahas dan kita akan coba bahas pada kesempatan ini dua pasang. Yang pertama adalah kejujuran dan keterbukaan, saya membedakan kejujuran dan keterbukaan dalam pengertian kejujuran adalah menyingkapkan yang sebenarnya tentang diri kita. Dengan kata lain waktu kita bersikap jujur, kita tidak mendistorsi fakta. Misalnya bila kita pernah berpacaran sebelumnya, jangan berkata bahwa kita tidak pernah berpacaran atau jika kita tidak pernah duduk di bangku kuliah maka jangan mengklaim kita pernah menjadi mahasiswa. Jadi inilah yang saya maksud dengan kejujuran, kita mengatakan atau menyingkapkan apa yang sebenarnya. Keterbukaan sudah tentu mengandung unsur kejujuran namun keterbukaan bukan hanya kejujuran, keterbukaan adalah menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita, ini beda utamanya kalau kejujuran menyingkapkan apa yang benar, sedangkan keterbukaan menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita. Jadi dari awal berelasi kita harus bersikap jujur dalam pengertian menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan, namun mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dengan segera kita bagikan dengan pasangan bukan karena kita hendak menutupinya melainkan karena kita mau memastikan, bahwa kita akan dapat memercayakannya dengan hal yang pribadi ini. Singkat kata, keterbukaan yaitu menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita, memang harus berjalan melalui proses waktu, makin mendalam relasi dan makin bertumbuh rasa percaya, makin bertambah keterbukaan namun tetap tujuan semula yaitu keterbukaan harus kita usahakan dan jangan berkata bahwa kita sengaja tidak memberitahukan hal ini kepadanya oleh karena kita kurang memercayainya. Jika dari awal berelasi kita sudah tidak dapat memercayainya itu pertanda relasi ini tidak sehat. Jadi kita harus memulai relasi dengan kejujuran dan berusaha keras untuk mencapai tahap keterbukaan total kepada pasangan.
GS : Jadi awalnya hanya kejujuran lebih dahulu yang harus kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Ya, betul.
GS : Jujur dalam hal apa saja biasanya, Pak Paul ?
PG : Misalnya apakah kita pernah berpacaran, yang kedua misalnya tentang latar belakang kita apakah memang kita dari keluarga ini dan apakah memang hidup kita seperti yang kita katakan, apakah orang tua kita juga seperti itu. Saya sudah mendengar cukup banyak tentang orang yang mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya tentang diri mereka sebelum menikah. Misalnya ada yang mengklaim dia punya rumah dan dia berkata, "Ini rumahnya" pasangannya tidak tahu apa-apa dan percaya saja, setelah menikah baru mengetahui bahwa itu bukan rumahnya tapi rumah orang lain. Atau ini usaha dia, modal dia dan sebagainya. Setelah menikah baru diketahui kalau ini bukan modal dia, tapi orang lain yang dipinjamkan kepada dia, ada yang mengklaim saya lulusan perguruan tinggi ini setelah menikah baru ketahuan, bukan saja bukan lulusan sekolah itu, ternyata malahan tidak pernah lulus dari perguruan tinggi sama sekali. Jadi cukup banyak orang-orang yang tidak nyaman untuk cerita apa adanya, sehingga membohongi pasangan tentang siapa dirinya. Saya kira secara garis besar siapa diri kita dan apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini, dua hal itu mesti dengan jujur kita sampaikan kepada pasangan kita.
GS : Bukannya mau tidak jujur, jadi bukan berusaha untuk mengelabui calon tapi dari pihak calon itu sendiri yang memperkirakan bahwa kita itu sudah punya rumah, bahwa orang tuanya kaya dan itu perkiraannya sendiri karena tidak pernah dikomunikasikan dan yang satunya diam saja, kalau menganggap dia kaya malah senang supaya pernikahan itu bisa terwujud, tapi nyatanya sebenarnya bukan orang kaya. Jadi hidup dalam rumah dimana itu adalah rumah sewa dan hutangnya banyak, padahal si calon mertua menganggap calon menantunya kaya, anak dari orang yang kaya.
PG : Jadi kalau kita sudah menduga akan ada kesalahpahaman dan orang akan menganggap kita punya rumah ini dan sebagainya, saya pikir kita bertanggung jawab untuk mengatakan apa adanya bahwa, "ini bukan rumah saya, saya ini menumpang di rumah ini" atau "ini bukan mobil saya, tapi saya ini dipinjami mobil". Sebab kita ini bertanggung jawab untuk mengatakan hal-hal itu, memang bisa saja pasangan kita tidak bertanya karena ini semua milik kita dan dia mungkin sungkan bertanya kepada kita, tapi saya akan meletakkan tanggung jawab itu pada pundak kita sendiri. Jadi kita harus berkata apa adanya kalau kita sudah punya firasat bahwa dia salah menduga maka kita harus katakan apa adanya.
GS : Bagaimana dengan pasangan yang ketahuan berbohong, tapi dia langsung minta maaf, "Memang saya berbohong".
PG : Sudah tentu misalnya orang berbohong, maka sudah tentu harus ada permintaan maaf dan pemberian maaf. Tapi saya harus membicarakan fakta kalau terjadi kebohongan tidak bisa tidak kejujuran itu ternoda dan pertumbuhan rasa percaya pasti mengalami hambatan. Setidaknya saya bisa bayangkan dua dampak buruk kebohongan pada relasi. Yang pertama adalah rasa sakit akibat dibohongi jauh lebih berat daripada rasa sakit akibat pertengkaran, oleh karena dalam pertengkaran kita sudah berjaga-jaga untuk diserang sedangkan kebohongan datangnya tidak diduga. Itu sebabnya luka akibat dibohongi biasanya dalam dan lama untuk sembuh. Jadi kalau terjadi kebohongan, benar-benar upaya mengobatinya memakan waktu lama. Karena relasi itu mundur ke titik nol kembali dan bahkan saya bisa juga berkata ke titik minus, bukan saja belum memercayai tapi sekarang menjadi tidak memercayai sehingga apapun yang dilakukan atau dikatakan oleh pasangannya, kita beranggapan, "Orang ini akan berkata benar atau tidak". Begitu kita sekali dibohongi, tidak bisa tidak kita akan susah untuk kembali bisa dekat dan mengasihi dia. Jadi luka akibat dibohongi akan merusakkan sendi-sendi relasi itu secara lebih menyeluruh. Maka orang atau pihak yang satunya harus menyadari bahwa sekarang relasi ini menjadi relasi yang tidak sehat dan untuk menyehatkannya memerlukan waktu yang lama.
GS : Padahal sudah minta maaf kalau itu adalah kebohongan, Pak Paul.
PG : Kita sekarang masuk ke dampak keduanya. Tapi ternyata, meskipun orang itu minta maaf dan kita mengerti orang bisa salah dan kita memaafkan, tapi ternyata relasi itu akhirnya berhenti bergerak. Kenapa ? Sebab kebohongan akan menumbangkan rasa percaya, sesuatu yang mutlak harus ada di dalam relasi nikah. Relasi baru akan kembali bertumbuh tatkala rasa percaya mulai bertunas, masalahnya adalah relasi tidak bisa berlanjut mulai dari titik dimana kebohongan terjadi, biasanya relasi itu mesti dimulai lagi dari awal, jauh sebelum kebohongan terjadi sehingga gara-gara kebohongan apa yang telah dibangun runtuh dan harus dibangun ulang dan kita akhirnya merasa jauh dari pasangan kita dan tidak bisa lagi dekat dengan dia. Saya sudah bertemu dengan orang yang dibohongi oleh pasangannya dan benar-benar itu menghapus rasa percaya, dan ketika rasa percaya tidak ada lagi, keinginan untuk dekat dengan pasangannya, mesra dengan pasangannya tidak ada lagi karena tiba-tiba kita dihadapkan dengan sebuah pribadi yang lain, sebab diri yang seperti ini yang saya kenal sebelumnya tapi sekarang baru sadar kalau saya dibohongi, ternyata dia bukan ini. Berarti sekarang dia berpacaran dengan orang yang lain dan dia harus menyesuaikan diri dengan orang yang baru. Jadi ternyata seperti itulah dampak kebohongan pada relasi.
GS : Tetapi ada juga pasangan yang berusaha untuk membohongi pasangannya setelah tahu bahwa dia dibohongi maka dia berusaha untuk membohongi pasangannya itu, Pak Paul.
PG : Maksudnya dia ingin membalas. Sudah tentu salah, kalau dia membalas sebab kalau kita mulai balas membalas dengan kebohongan berarti kebohongan akan menjadi ciri relasi kita dan dalam kondisi seperti itu sebetulnya tidak ada lagi relasi, yang ada adalah sebuah permusuhan dimana masing-masing mencoba untuk memanipulasi atau merugikan pasangannya.
GS : Bagaimana supaya kepercayaan itu bisa bertumbuh kembali, Pak Paul ?
PG : Saya kira kalau kita telah bersalah dan kita harus akui dan kita harus menyodorkan semua hal yang telah kita sembunyikan sampai-sampai tidak ada lagi hal-hal yang kita sembunyikan sebab yang ingin dia ketahui adalah apakah ada lagi yang kita akan tutupi. Kalau kita pernah berbohong maka pasangan akan berkata, "Apakah ada lagi yang kau tutupi ?" maka kita harus mengatakan semuanya, tidak boleh lagi ada yang ditutupi sebab kalau sampai ada yang ditutupi dan dia akhirnya mengetahui dan ternyata kita menutupinya dengan sengaja berarti relasi itu hampir tamat. Jadi sekali lagi obatnya adalah berilah waktu dan kedua harus berikan kejujuran yang total.
GS : Hal kedua untuk memperkuat relasi suami istri itu apa, Pak Paul ?
PG : Kesalehan dan kekudusan. Jadi apa yang kita lakukan pada masa kita berpacaran akan berdampak pada masa pernikahan. Di dalam masa berpacaran kita harus meninggikan kesalehan dan kekudusan. Saya membedakan kekudusan dan kesalehan dalam pengertian kekudusan berhubungan langsung dengan godaan dan dosa seksual. Sedang kesalehan berkaitan dengan kehidupan rohani secara menyeluruh. Kesalehan atau kehidupan rohani yang sehat menandakan adanya ketaatan kepada Tuhan dan ini berdampak pada relasi, bersama dengan Tuhan secara intim akan menolong kita hidup dalam jalur kehendak-Nya dan akan memberikan kita kekuatan untuk bertahan dalam pencobaan. Coba saya sekarang langsung masuk ke dalam kekudusan. Hampir setiap pasangan yang tengah berpacaran, saya kira harus bergumul menjaga kekudusan, kendati kita tahu batas yang tidak boleh dilanggar tetap saja godaan untuk melanggarnya lebih besar daripada pengetahuan itu sendiri. Jadi pada akhirnya seringkali kekudusan lebih merupakan proses jatuh bangun ketimbang kemenangan yang permanen. Sungguhpun demikian kita ini tetap harus mengusahakannya sebab kekudusan berhubungan erat dengan kehendak Tuhan sendiri, kegagalan kita menjaga kekudusan mengakibatkan kejatuhan kita ke dalam dosa seksual yaitu perzinahan dan sebagaimana kita ketahui dosa berakibat serius pada relasi kita dengan Tuhan. Jadi kita harus menyadari bahwa kekudusan berkaitan erat dengan Tuhan dan pertanggung jawaban kita kepada-Nya. Disamping itu kekudusan ternyata juga berhubungan erat dengan relasi itu sendiri, hilangnya kekudusan pada masa berpacaran seringkali menimbulkan dampak yang panjang pada relasi bahkan setelah pernikahan.
GS : Seringkali yang menjadi panutan adalah orang lain juga berbuat seperti itu, sehingga mereka tidak terlalu merasa penting untuk menjaga kekudusan.
PG : Ini memang sudah menjadi masalah di kalangan para pemuda dan remaja. Jadi susah untuk menjaga kekudusan dewasa ini, karena yang pertama ini adalah perilaku teman-teman yang juga kita kenal maka penting kita dikelilingi oleh teman-teman yang kudus, yang seiman dalam Tuhan sehingga kita mendapatkan kekuatan untuk hidup kudus juga, namun kita tidak boleh berkata bahwa karena yang lain juga melakukan maka saya juga lakukan, jangan seperti itu. Sebab apa yang kita lakukan berkaitan langsung dengan Tuhan (karena ini adalah sebuah dosa) dan berdampak serius pada relasi kita itu.
GS : Apa dampaknya di dalam relasi pernikahan, Pak Paul ?
PG : Sekurang-kurangnya ada 4, yang pertama adalah acapkali hilangnya kekudusan berakibat hilangnya respek atau penghargaan baik pada diri pasangan atau diri sendiri. Jadi ada sesuatu yang sakral tentang hubungan seksual yang tidak bisa dijelaskan oleh nalar tapi tertangkap oleh batin dan naluri. Seks sebelum menikah membuat kita memandang pasangan dan diri sendiri dengan pandangan yang berbeda yaitu tidak lagi sehormat dulu. Jadi kita harus menyadari begitu kita melakukannya maka rasa hormat itu akan mulai menyusut.
GS : Walaupun itu dilakukan atas dasar suka sama suka, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi bagaimana pun juga tidak akan sama. Sebab sekali lagi ada sesuatu yang sakral di dalam hubungan seksual itu sendiri. Kalau dilakukannya dalam pernikahan maka kesakralannya tetap ada, kalau di luar pernikahan maka kesakralannya akan turun.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Begitu relasi berpacaran beranjak masuk ke ranah seksual maka berubahlah relasi itu menjadi sebuah relasi yang tidak aman, bila pada awalnya relasi itu memang kurang kuat sudah tentu dampak goncangannya akan terasa, tapi kalaupun relasi itu kuat begitu terjadi hubungan seksual maka relasi itu tidak akan sekuat dulu lagi. Hilangnya kekudusan akan berdampak pada hilangnya rasa aman, membuat kita posesif, kita takut kehilangannya, kita tidak ada lagi kepercayaan kepadanya, sebab kita takut dia akan mengulang perbuatan itu kepada orang lain atau dia nanti akan meninggalkan kita. Jadi sekali kita melakukannya, relasi kita tidak akan seaman dulu.
GS : Tapi untuk meninggalkan kalau dia pihak wanita maka dia akan berpikir ulang, kalau yang pria mungkin bisa saja meninggalkan begitu saja. Tapi yang wanita, untuk dia meninggalkan maka harus berpikir dua atau tiga kali, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kecenderungan untuk lebih posesif akan lebih kuat, rasa tidak aman juga akan makin tidak kuat. Jadi sekali lagi relasi yang tadinya baik dan sehat dimana banyak hal bisa dikerjakan sekarang terhalang gara-gara muncul keposesifan dan muncul rasa tidak aman yang kuat.
GS : Yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Relasi berpacaran yang terisi dengan kontak seksual menjadi relasi yang stagnan alias tidak bertumbuh, pertemuan demi pertemuan akhirnya diisi oleh hubungan seksual dan ini mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk menumbuhkan relasi, jadi aspek lain dalam relasi gagal bertumbuh sebab konsentrasi utama ada pada hubungan seksual saja. Jadi dengan kata lain, akhirnya relasi ini menjadi relasi yang lemah.
GS : Padahal biasanya hubungan seksual yang dilakukan di luar nikah, biasanya bisa dilakukan tidak hanya sekali tapi berkali-kali, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi dengan kata lain, kalau terus menerus dilakukan maka benar-benar konsentrasi relasi itu sudah bergeser dan tidak ada lagi dalam hal lain tapi hanya pada seks saja sehingga akhirnya relasi itu tidak berkembang.
GS : Sebelum kita akhiri perbincangan ini apakah masih ada hal lain, Pak Paul ?
PG : Terakhir adalah hilangnya kekudusan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memulai proses penyesuaian dan penyelesaian ketidaksesuaian atau konflik. Hubungan seksual di masa pranikah membuat kita terfokus hanya pada kepuasan jasmaniah dan ini membuat kita melupakan masalah yang ada atau membuat kita terlena sehingga luput mendeteksi masalah yang berpotensi muncul. Setelah menikah baru kita terkejut menemukan begitu banyak ketidakcocokan di antara kita. Alhasil konflik terus menerus terjadi setelah kita menikah.
GS : Jadi walaupun hubungan seksual itu merupakan salah satu bentuk relasi, tapi kalau itu dilakukan sebelum mereka resmi menikah, ini malah menimbulkan hal yang negatif.
PG : Betul sekali. Makanya Tuhan melarangnya dan apa yang Tuhan larang sudah tentu baik.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan ?
PG : Saya bacakan dari 1 Tesalonika 4:7,8, [2] "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus. Karena itu siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu." Jadi jelas firman Tuhan memanggil kita bukan untuk hidup cemar, tapi untuk hidup kudus dan ternyata hidup kudus memunyai begitu banyak faedahnya pada relasi pernikahan kita kelak.
GS : Perbincangan ini memang masih belum selesai dan kita berharap para pendengar kita akan mengikuti perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Dan terima kasih sekali untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesalahan Dalam Menjalin Relasi" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3] Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Ringkasan

Sesungguhnya relasi pernikahan berawal bukan pada waktu bel gereja berdentang. Relasi pernikahan bermula di titik kita memulai relasi dengan pasangan. Jika demikian, sebenarnya apa yang terjadi setelah pernikahan merupakan kepanjangan atau lanjutan dari apa yang terjadi sebelum pernikahan. Berdasarkan pemahaman ini, marilah sekarang kita melihat hal-hal apa sajakah yang perlu terjadi atau sebaliknya, dijaga jangan sampai terjadi pada masa berpacaran supaya relasi pra-nikah ini dapat menjadi fondasi yang kokoh dan sehat bagi pernikahan itu sendiri.

A. Kejujuran dan Keterbukaan

Saya membedakan kejujuran dan keterbukaan dalam pengertian, kejujuran adalah menyingkapkan yang sebenarnya tentang diri kita—dengan kata lain kita tidak mendistorsi fakta. Jadi, bila kita pernah berpacaran sebelumnya, jangan berkata bahwa kita tidak pernah berpacaran. Atau, jika kita tidak pernah duduk di bangku kuliah, jangan mengklaim bahwa kita pernah menjadi mahasiswa.

Keterbukaan sudah tentu mengandung kejujuran namun keterbukaan bukan hanya kejujuran. Keterbukaan adalah menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita. Dari awal berelasi kita harus bersikap jujur, dalam pengertian menyingkapkan yang sebenarnya kepada pasangan. Namun mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dengan segera kita bagikan dengan pasangan, bukan karena kita hendaknya menutupinya melainkan karena kita mau memastikan bahwa kita akan dapat mempercayakannya dengan hal yang pribadi ini.

Bila kejujuran ternoda oleh kebohongan, pertumbuhan rasa percaya niscaya mengalami hambatan. Setidaknya ada dua dampak buruk kebohongan pada relasi:

Rasa sakit akibat dibohongi jauh lebih berat ketimbang rasa sakit akibat pertengkaran oleh karena dalam pertengkaran kita sudah berjaga-jaga untuk diserang sedang kebohongan datangnya tidak diduga.

Kebohongan membuat relasi berhenti sebab kebohongan menumbangkan rasa percaya—sesuatu yang mutlak harus ada di dalam relasi nikah. Relasi baru akan kembali beranjak tatkala rasa percaya mulai bertunas. Masalahnya adalah, relasi tidak bisa berlanjut mulai dari titik di mana kebohongan terjadi. Singkat kata, kebohongan membuat kita merasa asing dengan pasangan.

Apabila kejujuran bertalian erat dengan kepercayaan, keterbukaan berkaitan erat dengan keintiman. Makin kita terbuka—menyingkapkan sebanyak-banyaknya tentang diri kita—maka makin bertambah keintiman.

B. Kesalehan dan Kekudusan

Dalam pembahasan ini saya membedakan kekudusan dan kesalehan, dalam pengertian kekudusan berhubungan langsung dengan godaan dan dosa seksual, sedang kesalehan berkaitan dengan kehidupan rohani secara menyeluruh. Kesalehan atau kehidupan rohani yang sehat menandakan adanya ketaatan kepada kehendak Tuhan. Dan, ini berdampak pada relasi. Bersama dengan Tuhan secara intim akan menolong kita hidup dalam jalur kehendak-Nya dan akan memberi kita kekuatan untuk bertahan di dalam pencobaan.

Hampir setiap pasangan yang tengah berpacaran harus bergumul menjaga kekudusan. Kendati kita tahu batas yang tidak boleh dilanggar, tetap saja godaan untuk melanggarnya lebih besar daripada pengetahuan itu sendiri. Pada akhirnya sering kali kekudusan lebih merupakan proses jatuh-bangun ketimbang kemenangan yang permanen. Sungguhpun harus jatuh-bangun, kita tetap harus mengusahakannya sebab kekudusan berhubungan erat dengan kehendak Tuhan sendiri. Kegagalan kita menjaga kekudusan mengakibatkan kejatuhan kita ke dalam dosa seksual yaitu perzinahan.

Di samping berkaitan langsung dengan kehendak Tuhan dan dosa, kekudusan juga berhubungan erat dengan relasi itu sendiri. Ternyata hilangnya kekudusan pada masa berpacaran dapat menimbulkan dampak yang panjang, sebagaimana dipaparkan berikut ini:

1. Acapkali hilangnya kekudusan berakibat hilangnya respek atau penghargaan, baik pada diri pasangan atau diri sendiri.

2. Begitu relasi berpacaran beranjak masuk ke ranah seksual, berubahlah relasi itu menjadi sebuah relasi yang tidak aman. Kita bertambah takut kehilangannya dan kita pun kehilangan kepercayaan kepadanya sebab kita senantiasa dihantui bayangan bahwa ia dapat melakukan hal yang sama dengan orang lain.

3. Relasi berpacaran yang terisi oleh kontak seksual pada akhirnya menjadi relasi yang stagnan alias tidak bertumbuh. Akhirnya relasi berubah menjadi relasi yang lemah sebab pertumbuhan yang seyogianya terjadi, luput berkembang.

4. Terakhir, hilangnya kekudusan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memulai proses penyesuaian dan penyelesaian ketidaksesuaian atau konflik. Hubungan seksual di masa pra-nikah membuat kita terfokus hanya pada kepuasan jasmaniah dan ini akhirnya membuat kita melupakan masalah yang ada atau membuat kita terlena sehingga luput mendeteksi masalah yang berpotensi muncul. Setelah menikah barulah kita terkejut menemukan begitu banyak ketidaksesuaian di antara kita.

Jika demikian besar dampaknya, tidak bisa tidak, kita mesti berusaha keras untuk menjaga kekudusan di masa berpacaran. Kendati tidak mudah, kita harus terus berupaya sebab harga yang mesti dibayar teramat mahal. Berikut akan dijabarkan beberapa saran untuk menjaga kekudusan:

1. Kita harus mengundang Tuhan masuk ke dalam relasi kita sejak awal. Kita mesti menjadikan Tuhan sebagai "orang ketiga" yang senantiasa hadir dalam relasi kita.

2. Sejak awal kita harus mengikatkan diri ke dalam sebuah relasi pertanggungjawaban dengan seorang mentor atau kakak pembimbing.

3. Sedapatnya jauhkan kontak fisik dan hindarkan tempat yang memberi kita kesempatan untuk berbuat jauh. Jangan sungkan untuk menolak ajakan atau sentuhan yang melanggar batas.

4. Pada akhirnya, jangan berhenti bergumul. Jangan putus asa dan jangan berkata bahwa Tuhan tidak lagi peduli. Tuhan peduli dan Ia akan menerima kita yang babak belur bergumul dengan dosa.

C. Kejelasan dan Kefleksibelan

Pada masa berpacaran terdapat kecenderungan yang kuat untuk bersikap samar, dalam pengertian, tidak berani mengambil sikap atau menunjukkan selera dan pendapat pribadi. Akhirnya kita mendiamkan perbuatan pasangan yang tidak kita sukai, menelannya ke dalam hati, karena kita khawatir bahwa penyataan pendapat dapat memicu konflik.

Sejak awal berelasi seyogianya kita bersikap jelas kepada pasangan. Kita mesti berani menyatakan sikap kepadanya walaupun dengan bersikap jelas, mungkin saja terjadi konflik. Namun kalaupun terjadi konflik, ini adalah konflik yang sehat. Selain dari itu dengan menyatakan sikap yang jelas, kita pun memberi kesempatan kepada pasangan untuk melihat siapakah kita—apa adanya. Makin jelas ia melihat kita, makin terbuka kemungkinan ia memilih—atau tidak memilih kita—dengan alasan yang tepat. Maksud saya, oleh karena ia dapat melihat siapakah kita apa adanya, kalaupun ia harus memutuskan hubungan, ia akan melakukannya atas dasar yang tepat, bukan atas dasar kesalahpahaman. Jadi, beranikanlah diri untuk menyatakan sikap. Tunjukkan diri apa adanya—baik itu apa yang diharapkan maupun apa yang tidak diharapkan. Lewat kejelasan ini, kita akan dapat memulai proses penyesuaian. Namun, ingat bahwa di samping jelas, kita pun mesti bersedia untuk bersikap fleksibel. Jangan bersikap kaku—apalagi egois. Dalam proses penyesuaian dituntut kesiapan kedua belah pihak untuk mengurungkan niat, untuk membatalkan tuntutan, untuk mengubah permintaan, dan untuk mengakui kesalahan. Kedewasaan dibuktikan lewat kemampuan untuk memilah-milah, mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tanpa fleksibilitas kita tidak akan dapat membangun sebuah relasi nikah yang langgeng dan sehat.

D. Keserasian dan Kenikmatan

Keserasian adalah kesamaan minat. Memang tidak mungkin kita menemukan orang dengan kesamaan minat pada semua bidang; sudah tentu akan ada perbedaan minat. Namun bila kita mendapati bahwa pasangan kita begitu berbeda sehingga dalam hampir segala lini kehidupan, kita berbeda, besar kemungkinan pernikahan kita akan mudah rapuh. Minat sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan. Orang dengan latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan yang sama cenderung mengembangkan kesamaan minat.

Selain dari keserasian, faktor lain yang berpotensi menumbuhkan relasi adalah kenikmatan. Pernikahan baru dapat bertumbuh bila kita dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sebaliknya jika kita tidak dapat menikmati kebersamaan dengan pasangan, mustahil relasi dapat bertumbuh. Apabila kita menemukan kecocokan, tidak bisa tidak, kita akan senang bersamanya. Kita akan menanti-nantikan waktu untuk bersamanya. Kita tidak sabar untuk berbagi dan bercerita; kita ingin dapat mendengar suaranya dan menghabiskan waktu bersamanya. Inilah pertanda bahwa kenikmatan sudah menjadi bagian dari relasi.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Suami-Istri [6]
T345A [7]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/kesalahan_dalam_membangun_relasi_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T345A.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/?1+Tesalonika+4:7,8,
[3] http://www.telaga.org
[4] https://www.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://www.telaga.org/kategori/suami_istri_0
[7] https://www.telaga.org/kode_kaset/t345a