TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Pemberontakan Anak I

Pemberontakan Anak I

Kode Kaset: 
T333A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerima-nya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak. Dan pemberontakan anak bisa dilihat dalam beberapa hal, kemudian bagaimana kita sebagai orang tua menghadapi pemberontakan anak?
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang “Pemberontakan Anak”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL :  Pak Paul, ada satu hal yang terkadang    sebagai orang tua kita sulit menghadapi masalah pemberontakan anak, padahal kita sudah mendidik mereka untuk tujuan yang baik tapi mengapa mereka sampai memberontak ?

PG :   Memang ada banyak faktor yang terlibat, Bu Dientje, mengapa pada akhirnya anak itu memberontak. Sebelum saya menguraikan beberapa di antaranya, saya ingin mengakui sebuah fakta dalam kehidupan yaitu tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan pada anak-anak kita dapat diterima oleh anak dengan baik dan tepat. Maksud saya begini, kita mungkin berniat baik, mau mengajarkan sesuatu pada anak kita tapi dia menerimanya lain, justru akhirnya ia memberontak, bukannya ia menerima apa yang kita harapkan, kita coba ajarkan. Dia tidak mendengarkan, malah dia lari dari itu, kadang-kadang saya melihat kita bertugas sebagai orang tua seperti sebuah misteri sebab saya juga akui adakalanya orang mengatakan, “Lihat itu si ini, orang tuanya biasa-biasa saja tapi anak-anaknya bisa begitu baik. Lihat si itu, dia giat dalam pelayanan mengajarkan anak-anak tentang Tuhan, tapi anak-anaknya malah begitu”. Demikian banyak faktor dalam proses membesarkan anak yang tidak selalu  bisa kita pastikan efeknya pada anak-anak.

GS :   Semua orang tua pasti bertujuan supaya anak-anaknya baik, Pak Paul, hanya caranya mungkin yang tidak bisa diterima oleh anak-anak itu.

PG :   Itu pasti benar bahwa memang kita harus memastikan cara yang bisa diterima oleh anak, sehingga apa yang kita ingin sampaikan bisa didengarkannya, namun saya juga harus mengakui bahwa tidak selalu yang menjadi masalah adalah caranya. Kadang-kadang kita sudah berusaha sebaik-baiknya, tetap saja anak bisa keliru menafsir maksud baik kita itu.

GS :   Kalau begitu apa alasan-alasan yang seringkali membuat anak memberontak, Pak Paul ?

PG :   Yang pertama, yang umum adalah pertengkaran orang tua. Karena orang tua terus bertengkar, maka anak-anak terpaksa hidup dalam ketegangan dan ketegangan ditambah lagi dengan kemarahan karena tidak suka melihat orang tua bertengkar. Akhirnya hati anak, jiwa anak terisi oleh kemarahan-kemarahan karena orang tua yang tidak bisa hidup rukun.

DL :   Apakah anak itu menjadi pelampiasan, begitu ?

PG :   Mungkin sebelum menjadi pelampiasan, maksudnya karena orang tua sering bertengkar mereka menciptakan suasana yang tidak kondusif, tidak lagi damai sejahtera sehingga hati anak terisi oleh kemarahan-kemarahan dan akhirnya meletuslah pemberontakan, karena seolah-olah ia mau berkata, “Sudahlah berhenti jangan bertengkar terus, saya sudah lelah tidak mau lagi mendengar orang tua bertengkar”.

GS :   Tapi biasanya ‘kan pertengkaran orang tua bukan dilakukan di hadapan anak. Kita berusaha menyembunyikan hal itu di mata anak, Pak Paul.

PG :   Nah, kalau memang kita berhasil menjaga batas, kita tidak bertengkar di hadapan anak-anak, itu jauh lebih baik, sehingga anak-anak tidak harus mendengarkan konflik antara orang tuanya. Tapi bukankah yang sering terjadi, kalau hubungan sudah begitu buruk, langsung keluar tidak bisa menahan lagi. Akhirnya anak-anak mendengar dan kadang-kadang orang tua yang sudah ketahuan tidak rukun, sering bertengkar, mereka makin bebas bertengkar di hadapan anak-anak. Bukan mengerem malah mereka tidak peduli, dalam hati mereka mengatakan, “Anak-anak sudah tahu, mengapa harus saya tahan-tahan lagi ?”

GS :   Biasanya anak tetap bisa merasakan bahwa orang tuanya sedang bertengkar, walaupun tidak di depannya tapi ada kecanggungan-kecanggungan tertentu dimana anak bisa merasakan, “Ini papa mama pasti sedang bertengkar”.

PG :   Betul meskipun tidak mendengar langsung tapi bisa melihat dari gerak-geriknya dingin, tidak saling menyapa, kalau bicara agak pedas. Anak-anak sudah tahu kalau mereka sedang bertengkar. Hal itu tidak membuat anak senang, tapi mereka sangat tidak menyukai suasana rumah yang seperti ini akhirnya dorongan untuk memberontak, melawan menjadi begitu besar.

GS :   Saya rasa bukan hanya tidak senang, Pak Paul, tapi ada kekuatiran bahwa melalui pertengkaran itu orang tua bisa bercerai dan anak merasa kehilangan perlindungan kalau sampai orang tuanya bercerai.

PG :   Betul, memang ada dua jenis, jenis yang umum yang pertama adalah anak-anak tidak mau kalau sampai orang tuanya bercerai. Namun kalau anak melihat orang tua bertengkar terlalu hebat, ada anak-anak yang memang akhirnya memberitahukan agar orang tuanya lebih baik cerai. Daripada mereka tidak tahan mendengarkan orang tuanya bertengkar seperti itu, mereka berkata, “Sudahlah, lebih baik cerai, jangan lagi bersama-sama”.

DL :   Ada, Pak Paul, suami istri menikah, istrinya tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar. Mereka bertengkar di kamar, mereka selalu hidup rukun, tapi dia mendapat suami yang ayah ibunya sampai tua pun bertengkar sehingga itu terbawa dalam pernikahan dan itu yang mengakibatkan anak-anak memberontak.

PG :   Betul memang tidak bisa disangkal, latar belakang kita berpengaruh pada hidup pernikahan kita. Kalau orang tua kita sering bertengkar, besar kemungkinan kita terpengaruh kalau ada sesuatu maunya bertengkar, meledak.

GS :   Selain pertengkaran, apa lagi yang bisa menjadi alasan anak memberontak, Pak Paul ?

PG :   Yang berikut adalah kalau anak dijadikan target pelampiasan. Misalnya, orang tuanya sudah frustrasi dengan pernikahannya atau mungkin tidak bahagia dalam pekerjaannya, tertekan. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali orang tua melampiaskan kekesalannya kepada anak. Mengapa anak kena batunya ?

DL :   Paling lemah.

PG :   Memang anak paling lemah, tidak bisa melawan jadi anak terpaksa mendengarkan dan tidak bisa tidak anak-anak sudah pasti akan menjengkelkan hati orang tua. Anak-anak akan melakukan hal-hal yang membuat orang tua akhirnya bisa marah, itu normal. Tapi pointnya adalah waktu anak-anak melakukan hal-hal itu yang bersifat normal sebagai anak-anak, orang tua yang sudah menimbun kekesalan biasanya menumpahkan semuanya kepada anak. Akhirnya anak berontak, ia merasa tidak adil. Saya hanya berkata begini, hanya berbuat begini, harus dipukul seperti ini, harus dimarahi seperti ini, akhirnya mereka balas marah karena merasa tidak adil. Salah saya menjadi begini besarnya, meskipun sebenarnya kecil !  Anak-anak semakin besar mengetahui sebetulnya orang tua marah kepada satu dengan yang lain atau kepada orang di luar, mengapa saya yang kena ? Makin marah lagi, mula-mula anak tidak mengerti tapi ketika mereka sudah mengerti, sebetulnya orang tuanya marah kepada yang lain, tapi dia yang terkena pelampiasannya, jadi bertambah mengamuk !

DL :   Apakah ada lagi, Pak Paul, selain anak menjadi target pelampiasan ?

PG :   Yang berikut anak dijadikan trofi dalam konflik, jadi artinya orang tua sudah tidak rukun, tidak harmonis sehingga akhirnya masing-masing berusaha memenangkan anak menjadi sekutunya. Menarik anak ke sisinya supaya nanti dia tidak sendirian, pro dia melawan pasangannya. Anak-anak sebetulnya tidak ada yang suka dijadikan trofi, tidak suka berpihak pada ayah atau ibu; anak-anak lebih suka orang tua keduanya rukun, mereka tidak terjepit di tengah-tengah, tapi kalau orang tuanya begitu terhadap mereka maka mereka tidak enak untuk menolak. Mamanya menangis bercerita dengan dia, papanya merasa kesal dan berbicara dengan dia, dia harus mendengarkan. Anak kecil tabungnya masih kecil, belum besar untuk menampung semua itu, jadi akhirnya daripada dia dijadikan trofi, dia buang trofinya, dia berbuat kebalikannya, dia tidak mau peduli lagi dengan keluarganya.

GS :   Tapi kenapa orang tua justru memilih anak untuk menjadi pelampiasan seperti itu, Pak Paul ?

PG :   Karena memang anak-anak tidak bisa berbuat apa-apa, jadi sasaran yang paling empuk dan orang tua kalau marah atau kesal, harus dikeluarkan. Memang kita tidak bisa hidup menyimpan kemarahan, harus kita bocorkan keluar, nah dengan siapa kita bocorkan ? Sebetulnya saya yakin orang tua tidak sengaja mau melampiaskannya pada anak-anak, tapi anak-anak pastilah melakukan hal-hal yang menjengkelkan orang tua, itu sudah lazim tidak mengherankan. Waktu ada perbuatan anak yang menjengkelkan orang tua, karena sudah besar tekanan dalam diri orang tua, meledaklah !

GS :   Kalau orang tua dikaruniai beberapa orang anak, biasanya anak yang mana yang menjadi sasaran ?

PG :   Nah ini pertanyaan yang bagus sekali. Anak yang paling susah diam, yang aktif, yang lebih berani menjawab, yang punya kemauan yang lebih keras, tidak begitu menurut, tidak begitu mudah belajar, pasti kena batunya. Yang kasihan anak ini sebetulnya keunikan-keunikannya yang masih bisa diarahkan dengan baik sehingga tidak harus menjadi masalah besar, tapi karena orang tua sudah menyimpan terlalu banyak kemarahan waktu meledakkannya kepada si anak, dia berontak dan memang anak itu keras kepala, susah mendengar jadi cocok untuk menjadi pemberontak.

GS :   Alasan yang lain lagi apa, Pak Paul ?

PG :   Nah ini juga umum, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, yaitu tuntutan berlebihan. Jaman kita ini dunia menjadi begitu kompetitif, kita tidak puas anak kita masuk ke sekolah yang biasa, harus masuk sekolah unggulan, tuntutan belajar begitu tinggi dibebankan kepada anak. Anak tidak sanggup dileskan, sekolah saja sudah menjadi beban, dileskan menjadi beban tambahan kepada anak. Mungkin saja kita menganggap orang tua bermaksud baik, mengoptimalkan kemampuan anak, tapi akhirnya kalau anak tidak sanggup memenuhi tuntutan orang tua, dia tersiksa dan kemudian berontak. Dia mau melepaskan dari semuanya itu dengan dia berbuat kebalikannya, dia membuat ulangannya buruk, dia tidak belajar, orang tuanya marah tapi karena dia terus ulangannya jelek, orang tuanya berhenti menuntut, sehingga dia bebas.

DL :   Selain tentang tuntutan itu, apalagi, Pak Paul ?

PG :   Selain itu yang juga umum adalah konflik orang tua – anak, artinya mula-mula orang tua konflik, sekarang antara orang tua dan anak. Mungkin gaya hidup si anak yang tidurnya malam tidak bisa tidur lebih siang, akhirnya ribut dengan orang tuanya. Atau misalnya memakai uang, orang tua sudah memberitahukan agar hati-hati jangan sembarangan membeli barang ini tidak perlu, tapi anak tetap memakainya tidak peduli. Atau umur baru 14 tahun sudah berpacaran dengan anak lain, orang tua tidak suka, apalagi berpacaran dengan orang usia 20 tahun, orang tua coba melarang, konflik ! Kadang-kadang akibat konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak, akhirnya anak melawan orang tua dan memberontak.

GS :   Pak Paul, seringkali konflik itu merupakan konflik yang terbuka atau kadang-kadang anak melawan dengan cara yang diam-diam ?

PG :   Ini point yang bagus, ternyata memang tidak selalu terbuka, kadang-kadang anak memberontak secara diam-diam, mensabotase orang tuanya dengan perilaku-perilaku yang merugikan dirinya. Sebagai contoh, salah satu masalah yang mungkin akan makin banyak yaitu masalah gangguan makan, yaitu anak-anak yang melaparkan diri, tidak mau makan anggapannya dia terlalu gemuk padahal sudah terlalu kurus atau kalau pun dia makan dia tidak bisa tahan lagi kemudian makanan itu akan dimuntahkan. Ini sebetulnya merupakan pemberontakan tersembunyi, dia tidak bisa terima lagi tuntutan dari orang tuanya. Dia tidak bisa lagi mendengarkan atau menoleransi pertengkaran orang tuanya, jadi “makan ke dalam” menjadikan dirinya bermasalah seperti itu. Ini merupakan bentuk-bentuk pemberontakan yang tidak begitu nampak.

GS :   Sebenarnya bagi orang tua ini juga sulit membedakan antara anak ini sudah jenuh dengan kegiatan-kegiatan dan tugas-tugasnya atau memang malas. Orang tua menghindari jangan anak ini menjadi malas lalu diberi pekerjaan atau kegiatan yang begitu banyak nanti akhirnya menjadi beban untuk anak.

PG :   Coba saya soroti hal ini dengan lebih menyeluruh, Pak Gunawan. Kita kadang-kadang mengeluh anak-anak kita mainannya hanya ‘games’ saja, tidak mau belajar. Kita sebenarnya mesti menyadari bahwa sebetulnya anak-anak sekarang mendapatkan tuntutan yang jauh lebih besar dibandingkan kita dulu sewaktu anak-anak. Fakta ini harus kita terima, jadi tuntutan akademik sekarang jauh lebih besar dibandingkan pada waktu kita masih kecil. Dorongan untuk santai, dorongan untuk main lepas dari tekanan itu sangat besar, maka kita mesti menyadari kemampuan anak kita seperti apa. Kalau memang kira-kira anak kita tidak bisa, lebih baik masukkan dia ke sekolah yang lebih sesuai dengan kemampuannya sehingga nanti kebutuhannya untuk main-main juga akhirnya mengecil.

GS :   Pak Paul, mungkin masih ada beberapa hal lagi yang menyebabkan anak berontak, tapi sebenarnya apa wujud pemberontakan anak itu ?

DL :   Bentuknya bagaimana, Pak Paul ?

PG :   Sebetulnya pemberontakan merupakan pertanda bahwa anak tidak lagi tahan dengan tekanan yang dihadapinya. Ini wujud pertamanya, maksudnya begini, bertahun-tahun anak hidup dalam tekanan akhirnya membuat daya tahan dia menghadapi stres berkurang. Sudah lama menanggung stres, menanggung beban akibatnya ia menjadi mudah marah, karena mudah marah cepat melampiaskan kemarahannya pada orang di sekitarnya. Juga akibat tekanan yang dialaminya dia tidak sempat membangun sistem pertahanan yang kuat, sehingga ia menjadi mudah runtuh. Dari kecil mendapat tuntutan beban-beban sehingga ia tidak sempat membangun jiwa yang lebih kuat untuk menahan, menangkal tekanan-tekanan itu. Karena tekanannya terlalu berat dan dia tidak sanggup, dari kecil sistem pertahanannya sudah melemah sekali akhirnya dia mudah runtuh dalam keruntuhan dia mudah meledak dan tidak cakap mengelola kecamuk di hatinya. Oleh sebab itu reaksi termudahnya sekarang tidak sanggup menerima tekanan yaitu menolak tuntutan dan ini yang menjadi tema pemberontakannya bahkan tuntutan yang sederhana sekali pun misalnya kita meminta anak kita untuk ke gereja, dia tidak mau, dia berontak, padahal dia dulu senang ke gereja, banyak temannya di kegiatan-kegiatan dia mengikutinya. Sekarang menjadi begini, mungkin pemberontakannya bukan terhadap gereja, dia bukan tidak mau ke gereja, tapi dia tidak tahan lagi dengan tuntutan dalam segala jenis dan bentuk. Jadi waktu orang tua berkata, “Mengapa kamu tidak ke gereja”, nah itu tuntutan, semua dia buang tidak ada lagi yang dia sisakan.

GS :   Daya tahan seorang anak terhadap tuntutan, Pak Paul,  berbeda-beda. Ada anak yang tidak apa-apa dituntut begitu banyak, tapi ada anak yang dituntut sedikit saja sudah melakukan pemberontakan.

PG :   Seharusnya kita peka terhadap kapasitas anak menerima tuntutan, jadi sesuaikanlah tuntutan itu dengan kemampuan anak-anak kita. Kalau kita memang bisa memerlakukan anak secara unik masing-masing tidak sama seyogianya anak-anak tidak sampai terbebani sebegitu beratnya sehingga tidak perlu memberontak. Namun ada kalanya anak bukan karena masalah tekanan tapi karena dia tidak menyukai yang kita minta jadi akhirnya dia bisa memberontak. Kalau soal tekanan cobalah kita melihat kapasitasnya kalau memang dia tidak sanggup ya sudahlah kita turunkan supaya dia tidak harus memberontak.

GS :   Jenis yang lain dari pemberontakan ini apa, Pak Paul ?

PG :   Pemberontakan sebetulnya pertanda anak ingin mengubah kondisi keluarganya yang tidak sehat. Dia tidak suka melihat orang tuanya hidup dalam ketidakharmonisan, tidak suka ! Ada yang misalnya melihat sejak dia masih lebih kecil, mamanya bergaul erat dengan pria lain, papanya tidak berkutik. Atau kebalikannya papanya bergaul erat dengan perempuan lain, tapi mamanya tidak berkutik. Jadi dia sudah tidak tahan lagi melihat keluarga bisa begini rusak ! Akhirnya waktu dia melihat semua ini, dia mencoba mengubahnya, dia tidak mau lagi melihat orang tuanya hidup dalam ketidakharmonisan seperti itu. Pemberontakan seolah-olah dia sedang berusaha menyatukan kembali orang tuanya agar berhenti hidup seperti itu.

GS :   Itu ‘kan ketika anak sudah mulai bisa membandingkan antara keluarganya dengan keluarga lain, begitu Pak Paul ?

PG :   Betul sekali. Jadi waktu dia misalkan berkunjung ke rumah temannya dia melihat orang tuanya baik sekali hidupnya, penuh kasih, berbicara juga enak satu dengan yang lain. Muncul keinginan ingin melihat keluarganya seperti itu juga. Dia pulang ke rumah bertambah kesal, karena melihat orang tuanya tidak seperti itu, karena itu dia berontak dia mau mengubah agar orang tuanya hidup lebih beres.

DL :   Supaya orang tuanya sadar.

PG :   Betul, menyadarkan orang tuanya meskipun kita tahu tidak efektif, malah orang tuanya mau memindahkan problemnya kepada si anak. Si anaklah yang sekarang bermasalah.

GS :   Pemberontakan anak juga merupakan pertanda apa lagi, Pak Paul ?

PG :   Yang berikut adalah mungkin sedikit lebih mendingan yaitu pertanda dia ingin membangun kehidupan yang terpisah dari kita, artinya dia ingin mandiri. Dia tidak mau lagi dianggap seperti anak kecil, tidak mau lagi dianggap bergantung, dia ingin bisa memunyai kebebasan untuk memilih. Saya ingin menyoroti 3 hal yang seringkali menjadi keinginan anak untuk mandiri. Yang pertama adalah iman kepercayaan walaupun kita membesarkan dia untuk mengenal Tuhan kita Yesus Kristus, tapi ada titik-titik di mana dia ingin berkata saya memilih bukan karena saya harus memilih, tapi saya memilih karena memang saya mau memilih. Itu adalah masa yang akan terjadi dalam keluarga, ia mungkin akan tidak mau ke gereja, mulai menolak apa yang kita katakan. Saat-saat itu adalah saat yang penting untuk kita, sering-seringlah berdialog dengan dia. Hal kedua yang juga sering menjadi tanda keinginannya untuk mandiri adalah pasangan hidup. Kadang-kadang sudah kita harapkan jangan sampailah dia memilih pasangan yang seperti ini, dia sengaja pilih yang seperti itu. Kadang-kadang ada anak yang memilih benar-benar tidak bijaksana, kebalikan dari yang sepatutnya. Yang terakhir adalah gaya hidup, ini juga merupakan cetusan kemandiriannya. Misalnya, “Saya mau bekerja, tidak mau sekolah lagi”, sudah kuliah setengah jalan lalu berhenti, orang tua mengatakan jangan, tapi dia tidak mau. Dia merasa sudah dewasa, bisa bekerja. Jadi ada 3 hal yang seringkali menjadi wujud keinginan anak untuk mandiri dari orang tuanya.

GS :   Memang ini suatu hal yang sangat sulit dihadapi oleh orang tua, tetapi Pak Paul apakah mungkin pemberontakan itu merupakan tanda bahwa anak kita ini sedang mengalami penyimpangan atau kelainan dibandingkan dengan yang lain ?

PG :   Saya kira mungkin sekali, Pak Gunawan, karena dia juga manusia biasa yang bisa dipengaruhi baik oleh yang dari dalam rumah tangga kita atau oleh lingkungannya. Misalnya, anak yang bertumbuh besar dalam keluarga yang tidak harmonis cenderung memberontak sebagai akibat ketidakstabilan jiwanya, jiwanya penuh konflik, penuh kemarahan, penuh ketidakpercayaan diri sehingga labil sekali. Jiwa yang labil mudah sekali memunculkan pemberontakan. Pemberontakan akhirnya menjadi caranya menghadapi hidup daripada dia tidak bisa menghadapi, dilawan saja ! Dengan kata lain, ini merupakan wujud nyata dari ketimpangan dan ketidakberdayaannya menghadapi hidup dengan cara yang sehat. Dia tidak memunyai pilihan yang sehat itu.

DL :   Pak Paul, bisakah anak tidak memberontak kepada orang tua tapi mereka melakukan pemberontakan lain, misalnya pada waktu mereka menikah, mereka menekan istri, menekan anak mereka. Atau mereka tidak mau menikah, kalau menghadapi anak-anak seperti ini, bagaimana Pak Paul ?

PG :   Saya kira masuk akal, tadi Pak Gunawan sudah memunculkan pertanyaan apakah mungkin anak memunculkan pemberontakan dengan cara yang berbeda, saya kira itu bisa terjadi, Bu Dientje, lewat hal-hal yang Ibu katakan. Misalnya nanti ia setelah menikah ia memilih pasangan yang kebalikan dari orang tuanya harapkan, atau ia justru melampiaskan kemarahan terhadap pasangannya atau menekan pasangannya atau justru dia berkata, “Buat apa saya menikah ? Orang tua saya menikah seperti begini, ya saya tidak mau menikah”.

DL :   Bagaimana supaya mengembalikan mereka kepada yang benar ?

PG :   Nomor satu kita mesti membereskan relasi kita dulu, kalau kita masih belum beres akan sukar. Kita bicara apa pun kepada anak, anak akan berkata, “Papa mama sendiri seperti itu, menyuruh saya kawin, coba lihat perkawinan papa mama seperti itu, lebih baik saya tidak menikah”. Akhirnya kitalah yang harus membereskan.

GS :  Dan seringkali pemberontakan itu terjadi pada masa-masa remaja, Pak Paul ?

PG :   Betul sekali dan akan dibawa terus sampai masa dewasa.

GS :   Yang menjadi penyebab utama kalau tadi kita memerhatikan perbincangan ini, yang menjadi penyebab utama justru orang tua, bukan berasal dari anak, Pak Paul.

PG  :  Seringkali itu, benar sekali.

GS :   Pak Paul, sehubungan dengan perbincangan ini walaupun perbincangan ini belum selesai dan akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang mungkin Pak Paul ingin menyampaikan firman Tuhan yang sesuai dengan perbincangan ini.

PG :   Saya bacakan dari Efesus 6 : 4, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Ini firman Tuhan memang ditujukan secara khusus kepada para bapa karena kita mengakui kita sebagai bapa kadang kasar berbicara kepada anak sehingga membangkitkan amarah dalam hati anak-anak, coba kita camkan perintah Tuhan, “Didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan”, ini bukanlah suatu imbauan tetapi perintah Tuhan. Tuhan mengembankan perintah ini kepada kita untuk mendidik anak-anak dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Memang tadi saya sudah singgung di awal pembahasan ini, kita tidak bisa menjamin apa pun, itu betul tapi setidaknya kita bisa berkata kepada Tuhan, “Kami sudah mencoba mendidik anak-anak dalam ajaran dan nasihat dari Engkau”.

GS :   Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Pemberontakan Anak” bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerimanya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak.

Beberapa di antaranya adalah:

·         PERTENGKARAN ORANG TUA
adalah salah satu penyebab paling umum munculnya pemberontakan. Oleh karena pertengkaran yang tak berkesudahan, anak terpaksa hidup dalam ketegangan dan kemarahan. Inilah benih yang melahirkan pemberontakan.

·         ANAK DIJADIKAN TARGET PELAMPIASAN
adalah penyebab lain terjadinya pemberontakan. Mungkin orang tua frustrasi dengan pernikahannya atau mungkin ia terjepit dalam pekerjaannya. Nah, dalam kondisi tertekan, betapa mudahnya orang tua melampiaskan semua kekesalannya pada anak. Sudah tentu bukan saja anak merasa tersiksa, ia pun merasa marah karena harus menjadi korban ketidakadilan. Pemberontakan pun menjadi jalan keluarnya.

·         ANAK DIJADIKAN TROFI DALAM KONFLIK
adalah penyebab timbulnya pemberontakan dalam keluarga yang tidak harmonis. Akibat keretakan relasi baik ayah maupun ibu berusaha "memenangkan" hati anak agar berpihak padanya. Sudah tentu kondisi ini membuat anak serba salah dan tidak jarang, pemberontakan menjadi jalan untuk membebaskan diri dari himpitan ini.

·         TUNTUTAN BERLEBIHAN
adalah penyebab lain timbulnya pemberontakan. Mungkin orang tua bermaksud baik yaitu mendorong anak untuk mengoptimalkan potensinya namun pada akhirnya anak merasa tersiksa sebab hidup menjadi mirip dengan kerja rodi. Alhasil anak memberontak agar terlepas dari tuntutan yang terlalu menindihnya.

·         KONFLIK ORANG TUA - ANAK
adalah penyebab yang kerap menjadi penyebab munculnya pemberontakan. Sudah tentu ada banyak faktor yang dapat mencuatkan konflik di antara orangtua-anak namun bila konflik tidak terselesaikan, besar kemungkinan pada akhirnya anak memberontak.

 

Sesungguhnya apakah pemberontakan itu? Pemberontakan adalah:

•       Pertanda anak TIDAK TAHAN lagi dengan tekanan yang dihadapinya. Bertahun-tahun hidup dalam tekanan membuat daya tahan anak untuk menghadapi stres berkurang. Ia menjadi mudah marah dan cepat melampiaskan kemarahannya pada orang di sekitarnya. Juga, akibat tekanan yang dialaminya ia tidak sempat membangun sistem pertahanan yang kuat sehingga ia menjadi mudah runtuh. Di dalam keruntuhan ia mudah meledak dan tidak cakap mengelola kecamuk di hati. Itu sebabnya reaksi termudah adalah MENOLAK TUNTUTAN apa pun dan inilah yang menjadi tema pemberontakannya.

•       Pertanda anak ingin MENGUBAH kondisi keluarganya yang tidak sehat. Tanpa dijelaskan sekali pun, anak tahu bahwa keluarganya tengah bermasalah. Mungkin ia melihat hambarnya komunikasi di antara orang tua. Mungkin ia melihat pertengkaran. Mungkin ia melihat kedekatan orang tua dengan teman di luar pernikahan. Semua ini adalah kondisi yang tidak sehat dan anak merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu. Akhirnya ia mencoba memberitahukan orang tua, mengingatkan orang tua, menasihati orang tua tetapi semua tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya ia tidak tahan lagi dan letih menasihati. Ia membuang semua itu dan melawan orang tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini pemberontakan merupakan upaya anak MENYADARKAN ORANG TUA.

•       Pertanda anak ingin membangun kehidupan yang TERPISAH dari kita. Kadang anak memberontak oleh karena ia ingin mulai mengembangkan kemandiriannya. Ia menganggap diri sudah dewasa dan sudah selayaknya ia memeroleh kebebasan untuk memilih. Pada umumnya ada tiga isu utama yang kerap menjadi pemicu pemberontakan anak: iman kepercayaan, pasangan hidup dan gaya hidup.

•       Namun adakalanya, pemberontakan merupakan ekspresi PENYIMPANGAN anak dalam pertumbuhannya. Pada umumnya anak yang bertumbuh besar dalam keluarga yang tidak harmonis mengembangkan perilaku memberontak sebagai akibat ketidakstabilan jiwanya. Pemberontakan menjadi gaya hidup atau caranya menghadapi hidup. Ia tidak tahu dan mungkin, tidak sanggup mengatasi kekompleksan hidup beserta tuntutannya. Akhirnya satu-satunya cara yang digunakan adalah memberontak. Singkat kata, pemberon-takan merupakan wujud nyata dari ketimpangan dan ketidakberdayaannya menghadapi hidup dengan cara yang sehat.

 

Pemberontakan anak dihadapi lewat:

•       KERENDAHAN HATI untuk mengakui kondisi keluarga dan kekurangan pribadi. Kita mesti menyikapi pemberontakan anak dengan penuh kerendahan hati. Kita harus menyadari bahwa seringkali pemberon-takan anak merupakan akibat langsung dari masalah yang tersimpan dalam pernikahan kita atau kegagalan kita membendung masalahnya pada tahap yang dini.

•       KASIH untuk menyatakan penerimaan kepada anak. Sedapatnya kendati marah, kita harus membedakan antara perbuatan anak dan diri anak. Di satu pihak kita mesti bersikap tegas terhadap sikap dan perbuatan-nya yang memberontak. Di pihak lain kita harus mengkomunikasikan penerimaan kepada dirinya, yaitu bahwa ia tetap adalah anak yang kita kasihi.

•       KETEGASAN untuk menyampaikan batas yang jelas kepada anak. Dalam menghadapi pemberontakan anak, kita harus membedakan pelbagai jenis pemberontakan dan memberi reaksi yang sesuai. Ada kecenderungan tatkala marah, kita menyamaratakan semua perilakunya sebagai pemberontakan besar. Kenyataannya adalah, akan ada pemberontakan yang sesungguhnya tidak bernilai besar. Nah, sedapatnya kita hanya memberi reaksi terhadap pemberontakan besarnya. Sewaktu ia melihat bahwa kita tidak selalu memberi reaksi yang sama terhadap semua tindakannya, ia pun tidak dapat menunjukkan pemberontakan terhadap kita setiap waktu. Jika ini terjadi, akan tercipta momen di mana kita dan dia dapat berinteraksi secara lebih positif sebab tidak semua interaksi menjadi interaksi negatif—dia memberontak dan kita marah. Juga, tatkala kita tidak bereaksi terhadap semua pemberontakannya, ia pun akan dapat melihat sikap kita yang dewasa serta niat baik kita untuk berhubungan kembali dengannya. Hal ini berpotensi melunakkan hatinya dan menurunkan suhu kemarahan dan pemberontakannya.

•       Kunci meredam pemberontakan: INTEGRITAS DAN STABILITAS. Sebelum kita menanam sesuatu kita mesti terlebih dahulu menggemburkan tanahnya. Demikian pula dengan usaha menanam sesuatu yang baik pada anak terutama saat terjadi pemberontakan. Kita perlu menggemburkan tanah alias memersiap-kan relasi agar sewaktu terjadi pemberontakan, dampaknya tidak berlarut dan memburuk. Ini berarti kita harus menjaga relasi yang baik dengannya di masa sebelum pemberontakan terjadi.

Selain dari itu, kita pun mesti mempertahankan kehidupan yang berintegritas dan jiwa yang stabil. Jika kita hidup dalam kemunafikan, hampir dapat dipastikan pemberontakan anak akan makin berkobar. Juga, bila anak melihat bahwa kita bukanlah pribadi yang stabil, ia pun cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih besar, sebab diperlukan jiwa yang stabil untuk membendung pemberontakan anak.

Ketika anak melihat ketidakstabilan jiwa kita, ia melihat peluang untuk memberontak. Jadi, penting sekali bagi kita untuk memulai keluarga dalam integritas dan stabilitas. Tanpa kedua karakter ini, pemberontakan hampir menjadi keniscayaan.

•       Dan jangan lupa BERDOA untuk anak tanpa henti! Tuhan mendengar doa yang kita panjatkan, jadi, jangan berhenti berdoa meskipun perubahan yang kita nantikan tidak kunjung datang. Terpenting adalah kita pun menyadari kelemahan diri dan bersedia untuk berubah pula.

Doa tanpa perubahan sikap pada diri kita tidak akan membuahkan hasil. Ingat: Tuhan bekerja lewat ketaatan kita, bukan ketidaktaatan kita. Di dalam doa, mintalah hikmat dan kesabaran tanpa batas! Kita memerlukan kedua hal ini. Kita tidak selalu tahu bagaimana memberi respons yang tepat kepada anak. Itu sebabnya kita mesti sering berdoa.

Kita pun tidak selalu memiliki kesabaran atas perilakunya. Jadi, kita harus meminta Tuhan memberi kita kesabaran untuk menghadapinya. Tuhan bekerja melalui doa dan kesediaan kita untuk berubah.

 

Firman Tuhan di Yesaya 57:15 [4] berkata, "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk."

 

Tuhan tahu kita tidak sempurna, namun yang terpenting bagi-Nya adalah pertobatan atau perubahan. Untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan kita. Tuhan bersama dengan kita yang remuk hati dan rendah hati. Ia mendengarkan doa kita.

 

 

Pdt. Dr. Paul Gunadi [5]
Audio [6]
Orangtua-Anak [7]
T333A [8]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/pemberontakan_anak_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T333A.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] http://alkitab.sabda.org/?Yesaya+57:15
[5] https://www.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[6] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[7] https://www.telaga.org/kategori/orangtua_anak0
[8] https://www.telaga.org/kode_kaset/t333a