TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Dampak Kudus pada Anak

Dampak Kudus pada Anak

Kode Kaset: 
T331B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kita semua mafhum bahwa kekudusan adalah karakteristik yang penting. Kita pun menghendaki agar anak kita memiliki karakteristik tersebut. Pertanyaannya adalah, darimanakah anak belajar untuk hidup kudus dan tulus? Nah, jika anak belajar berjalan dan makan dari orang tua, tentulah anak belajar hidup kudus dari orang tua pula. Singkat kata, anak belajar kekudusan dari kekudusan kita, orang tuanya. Pembahasan ini menjelaskan dampak kehidupan yang kudus pada anak.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang “Dampak Kudus Pada Anak”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL :   Pak Paul, saya ingin bertanya, bagaimana dampak kudus pada anak dalam keluarga kristiani sebab banyak orang tua berdoa untuk kekudusan bagi anaknya bahkan bertahun-tahun tapi seakan-akan belum dijawab bahkan ada juga permusuhan antar saudara dalam keluarga Kristen ini. Padahal itu keluarga hamba Tuhan.

PG :   Begini, Ibu Dientje, kekudusan itu memang merupakan ciri utama dari kehidupan Kristiani. Kita tidak bisa berkata, “Saya orang Kristen dan saya ini adalah anak Allah, pengikut Kristus” kemudian hidup kita penuh dengan dosa, itu tidak bisa! Memang tidak bisa disatukan dosa dan Tuhan karena Tuhan itu kudus. Jadi anak-anak perlu sekali melihat hal ini pada kehidupan kita, sebab kalau tidak, maka nantinya anak-anak itu hampir dapat dipastikan akan kehilangan kesempatan untuk sungguh-sungguh mengenal Tuhan, apa yang dilihatnya dalam diri kita yang hidup tidak benar, itu benar-benar akan memadamkan keinginannya untuk mengenal Tuhan dan seringkali akhirnya mereka malahan meninggalkan Tuhan.

GS :   Yang seringkali kita tidak tahu apakah yang kita lakukan, hidup kudus yang kita sudah peragakan itu berdampak atau tidak pada anak kita, Pak Paul ? Kita sulit mengukurnya apalagi kalau anak-anak ini masih kecil, kita sudah berupaya tapi apakah itu terserap oleh mereka atau tidak, kita tidak mengetahuinya ?

PG :   Saya berikan sebuah kasus nyata dan ini memang saya dapati di Amerika. Jadi seorang ibu bercerita tentang anaknya, dari tiga anaknya, dua sudah meninggalkan Tuhan. Jadi ibu itu bercerita dengan sedih sebab dia berkata, “Kami sudah mencoba sekuat tenaga mengarahkan anak untuk hidup benar dalam Tuhan, anak-anaknya akhirnya rajin ke gereja dan terlibat dalam remaja dan sebagainya, tapi setelah dewasa meninggalkan Tuhan”. Waktu saya mendengar itu sudah tentu merasa iba dan kasihan, “Kasihan sekali si ibu ini” tapi belakangan saya itu berkesempatan bertemu dengan si suami dan suaminya bercerita tentang istrinya, intinya adalah si suami menceritakan problem yang memang dimiliki oleh si istri dan waktu si suami bercerita seperti itu maka saya kira-kira baru mengerti kenapa anak-anak akhirnya sampai meninggalkan Tuhan. Sebab apa yang terjadi memang mungkin sekali si ibu benar bahwa mereka mencoba menanamkan nilai-nilai rohani, tapi hubungannya dengan suami tidak baik. Jadi banyak masalah di antara mereka, akhirnya buat anak-anak, buat apa bicara tentang Tuhan, tapi hidup papa dan mama tidak karuan. Jadi akhirnya mereka benar-benar melepaskan semua yang namanya dengan kerohanian, iman Kristiani karena orang tua hidupnya tidak karuan, bertengkar dan sebagainya. Jadi kita seringkali baru tahu efeknya itu setelah anak-anak mulai besar. Pada masa kecil anak tidak punya pilihan, yang penting dibawa ke gereja dan anak-anak mengikuti saja, tapi setelah besar barulah nanti anak-anak itu berkesempatan untuk berkata, “Tidak mau” dan kita tidak bisa berbuat apa-apa, baru saat itu kita sadar bahwa ada dampaknya.

GS :   Pak Paul, apa dampak kekudusan suatu keluarga khususnya orang tua terhadap anak atau anak-anak mereka ?

PG :   Yang pertama adalah kalau sewaktu kita hidup kudus, anak jadinya berkesempatan untuk belajar bagaimana hidup kudus. Kita sering berkata pada anak-anak, “Hidup yang benar, jangan sampai berdosa dan sebagainya” tapi kita juga tidak mencontohkan secara langsung bagaimana caranya hidup seperti itu. Kalau kita hidup kudus maka anak akan belajar dari kita. Masalahnya adalah anak-anak itu nanti biasanya berpikir, “Tidak ada yang sempurna di dunia ini, semuanya juga tidak benar” akhirnya mereka berkata, “Buat apa hidup kudus, lebih baik kita hidup sembarangan karena semua orang di dunia juga seperti itu”. Anak-anak perlu tahu bahwa masih ada orang yang hidup kudus yaitu orang tuanya, tapi dia juga perlu belajar bagaimana untuk hidup kudus dan dia pelajari dari kita. Contohnya sudah tentu haruslah datang dari kita sendiri, sewaktu anak melihat kesetiaan kita kepada Kristus dan keluarga, dia melihat hidup yang kudus, sewaktu mereka melihat kesungguhan kita melayani Tuhan dia melihat yang kudus, waktu dia melihat kejujuran kita ia pun melihat kekudusan. Jadi anak-anak itu perlu melihat langsung sehingga bisa nantinya belajar dari kita bagaimana untuk hidup kudus.

GS :   Kadang-kadang ada yang salah mengerti tentang kekudusan, seolah-olah orang yang kudus itu tidak boleh berdosa lagi dan hidupnya seperti malaikat. Hal seperti ini juga menyesatkan anak, “Bagaimana mungkin saya seperti malaikat” daripada seperti itu maka langsung saja melakukan dosa.

PG :   Maka anak-anak perlu melihat kita terbuka kepada anak dengan kelemahan kita juga. Misalkan ada hal-hal yang pernah kita gumuli, biarkan anak-anak juga mendengar dan terutama bagaimana kita mengatasinya. Jadi saya misalnya bicara dengan anak-anak saya tentang saya dulu terlibat pornografi, dengan cara itulah anak-anak tahu bahwa saya bukanlah orang yang sempurna tapi dengan anugerah Tuhan saya bisa mengatasinya, sehingga waktu anak saya mengalami pergumulan yang sama, maka mereka bisa mencari saya dan bicara dengan saya. Sekali lagi jadinya lewat hal-hal seperti itu anak belajar bagaimana hidup kudus karena kita mengalaminya, sekali lagi saya tidak mengatakan biarlah anak-anak melihat betapa sempurnanya kita, tidak seperti itu. Karena kita juga manusia biasa yang kadang-kadang juga dicobai dan bisa jatuh juga. Dalam hal inilah kita perlu terbuka mengakui keterbatasan kita.

GS :   Bukan hanya diri kita, tapi lingkungan kita pun juga orang-orang yang berdosa yang penuh dengan kecemaran, Pak Paul.

PG :   Betul. Jadi bagikanlah hal-hal yang praktis yang dilakukan oleh orang-orang dan kita memang bisa mengomentari tapi kita juga harus berhati-hati dan jangan sampai kita terlalu memberikan penghakiman dan kita juga harus mengerti bahwa orang itu juga punya kelemahan. Tapi sekali lagi dengan cara itu kita mau mengatakan pada anak-anak kita bahwa inilah dunia, memang penuh dengan orang-orang yang tidak kudus, tapi kita mau mencoba belajar hidup kudus dan anak-anak melihat bahwa kita mencoba untuk hidup benar dan kudus di hadapan Tuhan.

GS :   Jadi sebenarnya yang dituntut atau yang dibutuhkan oleh anak-anak itu bukan tuntutan untuk hidup kudus, tapi tuntunan bagaimana mereka bisa hidup kudus sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.

DL  :  Teladan juga.

PG :   Tepat sekali. Lewat teladan kita memberikan tuntunan kepada anak-anak. Ini bagus sekali, Pak Gunawan mengangkat hal itu, seringkali di rumah kita melakukan hal itu, kita memberikan tuntutan harus seperti ini dan begitu, tapi kita sendiri tidak menyediakan tuntunan itu. Jadi waktu anak-anak mengerti kalau inilah caranya, akhirnya anak-anak belajar bagaimana dia belajar hidup benar di hadapan Tuhan.

GS :   Jadi sebenarnya kekudusan itu dilatihkan di dalam diri anak itu, begitu Pak Paul ?

PG :   Bisa dilatihkan atau dengan kata lain bisa diajarkan lewat apa yang kita katakan dan sudah tentu lewat kehidupan kita sendiri.

DL :   Tapi ada juga saya melihat ada keluarga hamba Tuhan, anaknya saling bermusuhan dan juga ada yang tidak ke gereja karena sudah memunyai akar pahit, sudah disatukan, sudah ditolong supaya mereka mengerti bahwa itu tidak baik, tapi kelihatannya sulit terhadap keluarga ini. Itu kenapa, Pak Paul ?

PG :   Mungkin sekali akarnya bukan masalah rohani, tapi akarnya besar kemungkinan itu masalah keluarga.

DL :   Akumulasi dari yang lama.

PG :   Betul. Mungkin sekali terlalu banyak kemarahan dan kepahitan kepada keluarga sendiri sehingga akhirnya anak-anak itu memutuskan untuk terlepas sejauh-jauhnya dan tidak mau lagi tahu tentang kakak dan adiknya karena mungkin sekali sudah terlalu banyak kepahitan.

DL :   Dan mungkin itu bisa diatasi hanya dengan doa ?

PG :   Sudah tentu harus berdoa, tapi kalau orang itu menyadari hal ini maka orang tua memang bisa memulai dengan keterbukaan, kenyataan bahwa mereka tidak sempurna dan harus diakui dan mencoba memerbaikinya. Anak-anak maunya melihat perubahan dan anak tidak perlu lagi mendengar orang tua mengaku salah tapi tidak berbuat apa-apa, mereka maunya mereka mengaku tapi tunjukkanlah perubahan dan benar-benar berbeda. Saya yakin anak-anak kalau melihat orang tua berubah maka mereka akan cepat mengampuni.

DL :   Tapi ada juga anak hamba Tuhan, hamba Tuhan itu dipakai Tuhan luar biasa tapi anaknya itu seakan-akan minder, tidak bisa percaya diri sehingga dia tidak bisa maju, itu kenapa, Pak Paul ?

PG :   Akhirnya banyak penyebabnya, seringkali karena banyak keluarga dimana orang tua sibuk dan tidak bisa tidak kadang-kadang anaknya agak terlantar sehingga kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan dibangunkan serta diarahkan sehingga akhirnya anak-anak itu tercecer di belakang. Ini memang bukan saja saya kira masalah dalam keluarga hamba Tuhan, tapi dalam semua keluarga yang memang kesibukannya sangat tinggi dan biasanya anak-anak akhirnya tercecer.

GS :   Tidak banyak saya rasa orang tua yang berani mengungkapkan masa lalunya yang kelam, kelemahan dan dosa-dosanya dengan alasan anak saya belum siap untuk mendengar itu, nanti kalau saya ceritakan malah pandangan dia terhadap saya menjadi jelek. Bagaimana mengatasinya, Pak Paul ?

PG :   Sudah tentu anak-anak itu pada masa-masa kecil sekali tidak harus mendengar kelemahan kita, tapi waktu kita mulai melihat bahwa mereka sudah di usia dimana kita juga bergumul dengan hal-hal tersebut, maka ada baiknya orang tua mengakui apa adanya. Jadi dalam pengertian menyadari kesalahan dan mencoba memerbaikinya dan jangan menyesali pernikahan kita atau pasangan kita. Kadang-kadang orang tua seperti itu, yaitu salah memilih pasangan misalnya anggapannya saya keliru memilih suami saya, kemudian itu yang terus dikomunikasikan kepada anak-anak, “Salah saya memilih papa, seharusnya saya tidak memilih papamu”. Jadi menyesali menikah dengan si papa. Anak-anak menjadi bukannya tambah terbangunkan tapi malah terpuruk, jadi kalau bisa janganlah menyesal-nyesalkan pilihan kita tentang pasangan kita tapi biarlah kalau kita mau cerita tentang hal-hal lain yang memang kita perbuat dulu yang kita tahu itu salah dan sekarang kita sadari dan sekarang kita sudah berubah. Lewat hal-hal itu anak-anak akhirnya bisa lebih mengerti.

GS :   Bagaimana supaya tidak ada kekuatiran bahwa anaknya akan mengulang dosa yang dilakukan oleh si ayah, Pak Paul ?

PG :   Sudah tentu kita tidak bisa memastikan bahwa anak tidak akan mengulang, tapi kita dengan hidup kudus, dengan hidup benar itu menjadi sebuah daya tarik, Pak Gunawan. Sebab anak-anak mengerti bahwa dunia ini kotor banyak sekali orang-orang yang berdosa dalam hidup ini, waktu kita hidup benar, waktu kita hidup kudus, maka anak akan nanti diingatkan bahwa di tengah-tengah dunia yang kotor ini masih ada orang yang hidupnya bersih. Dulu saya pernah memunyai teman, dia itu cerita bahwa papanya adalah orang yang sangat jujur, begitu jujurnya waktu dia bekerja sebagai salesman disuruh untuk membohongi pelanggan tentang produknya, dia menolak. Karena dia menolak maka diberhentikan dan disuruh pulang langsung. Dia cerita kepada saya bahwa papanya itu sejujur itu hidupnya dan memang pada masa pertumbuhannya hidup mereka sangat pas-pasan namun setelah anak-anak  dewasa Tuhan berkati dengan berlimpah. Namun ini yang selalu anaknya katakan, “Papa saya adalah orang yang paling jujur di dunia” jadi ini teladan yang bagus, karena si anak setelah dewasa dia pasti melihat di dunia itu banyak orang yang tidak jujur tapi dia masih bisa berkata, “masih ada yang jujur” berarti kalau orang berkata, “Hiduplah jujur” dan bisa hidup jujur, maka dia akan berkata, “Masih dimungkinkan”. Kalau orang berkata, “Mana mungkin hidup jujur” dia masih bisa berkata, “Papa saya hidup jujur meskipun kami dulu hidup pas-pasan tapi kami masih hidup dan sekarang hidup kami sangat baik sekali” jadi sekali lagi waktu dia melihat adanya yang jujur di rumahnya itu menjadi sebuah pilar, sebuah kekuatan bagi dia untuk hidup jujur karena ternyata bisa hidup jujur dan dia melihat Tuhan memberkati orang yang hidupnya jujur.

GS :   Tapi ada anak yang justru menyesali kenapa orang tuanya begitu jujur sampai mereka tidak bisa hidup yang layak, begitu Pak Paul.

 PG :  Memang kadang-kadang anak-anak itu karena tidak mengerti merasa begitu terutama pada masa kecil, mau beli mainan tidak bisa, mau beli ini tidak bisa. Maka orang tua juga mesti bisa mengutarakan kondisi dan jangan misalnya anak mau membeli barang kemudian dikatakan, “papa orang miskin karena papa ini orang yang mau mengikut Tuhan” jadi jangan terlalu berbicara seperti itu, tapi biarkan perbuatan kita yang berbicara, sehingga anak-anak melihat bahwa inilah papa saya dan inilah mama saya. Hidupnya jujur dan saleh. Meskipun dia berontak karena dia tidak bisa membeli barang ini dan itu, tapi setelah dia mulai besar umumnya mereka akan menghargai. Saya sudah melihat ini dari orang yang saya juga kenal, masih kecilnya memang mengeluh tapi setelah besar selalu membicarakan tentang ayahnya dengan hormat meskipun pada waktu masih kecil menderita, tapi setelah besar selalu membicarakan tentang ayahnya yang jujur itu dengan rasa hormat.

GS :   Memang seseorang akan melakukan apa yang diminta oleh orang tuanya ketika mereka bisa melihat hasil positif dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya.

PG :   Jadi dia melihat bahwa benar ya Tuhan menyertai dan Tuhan memberkati. Memang untuk sementara hidupnya agak susah, tapi akhirnya dia melihat betapa mulianya kehidupan yang seperti itu. Namun yang terutama adalah waktu kita hidup jujur, kita itu benar-benar mengkomunikasikan kepada anak-anak kita bahwa di dunia masih ada orang yang jujur dan hidupnya kudus dan kitalah orangnya. Jadi mereka berkesempatan bukan saja mengenal tapi hidup bersama dengan orang yang hidup kudus, ini menjadi sebuah pelajaran dan kekuatan bagi anak untuk nantinya hidup kudus.

DL :   Apa perbedaan antara jujur dan polos ? Karena ada anak yang karena jujurnya dia terlalu polos berkata kepada tempat yang mau melamar, “Baik, saya akan terima tapi tunggu dulu karena saya masih melamar di dua tempat” akhirnya dia tidak jadi diterima karena terlalu polos, kemudian dia bilang, “Saya ‘kan harus jujur” kemudian saya katakan “Itu salah”.

PG :   Jadi dengan kata lain kita jujur, tapi juga harus bijaksana.

GS :   Hal apa, Pak Paul, yang diperoleh seorang anak ketika kita itu hidup kudus ?

PG :   Saya tadi sudah singgung tentang memberikan mereka kekuatan untuk hidup kudus, satu hal lagi yang juga penting adalah waktu mereka itu mengalami pencobaan dan pergumulan, mereka itu lebih dimotivasi untuk kudus, sebagai contoh kalau saya tidak menyalahkan semua orang yang bercerai karena setiap kasus lain-lain, banyak kasus justru orang itu tidak mau bercerai tapi menjadi korban dari perceraian itu. Tapi ini yang saya mau katakan, kalau orang tua kita tidak bercerai, misalkan dalam pernikahan kita mengalami problem maka sudah tentu godaan angkat tangan itu besar, namun kalau orang tua kita itu tidak bercerai maka kita mau angkat tangan pun, mau menyerah, mau bercerai  masih berpikir dua kali; tapi kalau orang tua bercerai maka kita tidak akan berpikir dua kali, sebab orang tua kita pun tidak akan bisa bicara apa-apa, tidak bisa melarang kita kalau pun mereka mau menegur kita, kita sudah bisa berkata, “papa mama sendiri bercerai”. Jadi dengan kata lain, orang yang bisa hidup kudus akan memberikan amunisi atau kekuatan kepada anaknya untuk lebih bertahan di dalam pencobaan sehingga tidak cepat menyerah dan angkat tangan.

DL :   Tapi ada anak karena dia melihat orang tuanya, kehidupan rumah tangganya sering bertengkar, dia mengatakan bagini, “Besok jika saya sudah dewasa, saya tidak mau menikah”.

PG :   Betul, banyak yang begitu karena menjadi pengalaman yang pahit buat dia, buat apa saya menikah kalau nanti akhirnya harus hidup seperti papa mama saya, terus bertengkar.

GS :   Tapi ada sebaliknya yang ketika melihat orang tuanya tidak bercerai tapi hidupnya susah karena mereka mencoba menjalankan kebenaran firman Tuhan dengan kekudusan dan sebagainya, anak ini pun berkata, “Saya pun tidak akan menikah kalau hidupnya akhirnya seperti itu”. Sebenarnya orang tuanya memberikan contoh, tapi dia melihat pernikahan ini tidak cocok buat saya.

DL :  Berarti dia mengambil sisi negatifnya.

PG :   Kalau kita mau hidup kudus, kita juga mesti hidup dengan sukacita, Pak Gunawan. Memang sulit, tapi penting jangan sampai anak berkata, “Buat apa hidup kudus, buat apa hidup berkenan pada Tuhan tapi seperti itu tidak ada sukacita, menderita terus”. Hal itu juga membuat anak berpikir, “Buat apa ?” Sebagai contoh yang saya akan bagikan adalah contoh dari Penginjil John Sung yang kita tahu dipakai Tuhan di Asia Tenggara dan juga di Tiongkok pada tahun 1930-an. Waktu dia mau menjadi hamba Tuhan, dia menolak mati-matian karena dia memunyai ambisi ingin menjadi apa, tapi Tuhan panggil dia. Salah satu alasan sebetulnya adalah karena memang papanya pendeta dan hidupnya susah. Rupanya mereka menaruh harapan yang besar pada John Sung, nanti setelah selesai studi di Amerika pulang ke Tiongkok, dia bisa mengangkat bukan saja harkat keluarga tapi juga perekonomian keluarga. Pada waktu dia pulang dan mengatakan ingin menjadi hamba Tuhan, orang tuanya kecewa luar biasa. Tapi bisa dimengerti karena orang tua itu hidup susah, sebagai seorang hamba Tuhan, jadi anak mengembangkan pikiran tidak mau menjadi hamba Tuhan. Mungkin juga orang tuanya kadang-kadang menyesali nasibnya, maka kalau kita mau hidup kudus, benarlah hidupnya, dengan sukacita jangan sampai terus mengeluh. “Karena saya ikut Tuhan, hidup saya seperti ini dan sebagainya”, akhirnya anak-anak berkata, “Tidak mau hidup kudus, karena papa mama hidupnya bertambah susah”. Jadi justru harus ada sukacita meskipun hidup kita pas-pasan, ada sukacita karena kita melihat Tuhan tetap memelihara, tetap bersyukur, sehingga anak-anak akan menangkap itu yang penting, hidup benar di hadapan Tuhan dan bisa tetap hidup sukacita untuk Tuhan.

GS :   Memang seringkali yang kita jumpai, banyak anak tidak mau melanjutkan profesi dari orang tuanya karena dia melihat kehidupan yang seperti itu susah, bukan hanya dalam segi menjadi pendeta atau penginjil, tapi dalam pekerjaan-pekerjaan yang lain seperti misalnya menjadi polisi, misalnya menjadi pegawai. Orang tuanya ada yang menganjurkan, kamu kalau besar jangan seperti papa. Dia memunyai gambaran bahwa kehidupan itu bila dijalani dengan jujur, dengan tulus akan menimbulkan kesukaran dalam hidupnya.

PG :   Nah ini ajaran yang sudah tentu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, sebab Tuhan menghendaki kita hidup berkenan kepada-Nya dan terima konsekwensinya, mungkin kita tidak bisa naik pangkat, tidak bisa mengumpulkan kekayaan, ya tidak apa-apa. Tapi waktu anak melihat orang tuanya hidup dengan sukacita, melayani Tuhan, hidup buat Tuhan. Itu menjadi kekuatan yang besar buat anak-anak ini. Contoh kehidupan dari Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen di Amerika Serikat. Dia bercerita papa mamanya hidupnya pas-pasan, karena di tahun-tahun itu papa mamanya bergantung pada pemberian jemaat, pemberian gereja pada waktu papa menjadi seorang penginjil keliling berkhotbah, kadang-kadang ya kurang, tapi yang dilihat oleh Dr. James Dobson sebagai anak, papa mamanya selalu bersyukur ! Dalam salah satu autobiografinya ditulis, dia kadang-kadang melihat papanya pulang dari pelayanan, mengobrol dengan mamanya tentang apa yang Tuhan kerjakan lewat dia waktu mengunjungi suatu tempat. Di akhir pembicaraannya dia berkata, “Uangnya saya berikan pada keluarga hamba Tuhan itu karena mereka susah sekali” dan mamanya berkata, “Ya tidak apa-apa kalau memang Tuhan menggerakkan kamu begitu”. Dr. James Dobson melihat papa mamanya hidup dengan penuh sukacita, penuh syukur dan rukun, itu menjadi bekal rohani yang luar biasa buat dia, sehingga waktu dia besar dia menjadi tokoh yang Tuhan pakai.

DL :   Berarti seorang anak, dia bisa melihat bagaimana kehidupan rohani orang tuanya, kudus, sukacita. Kadang-kadang saya melihat anak ini dari kecil ikut ibadah, tapi setelah besar dia jauh dari itu semua, karena mungkin ia melihat perbuatan orang tuanya.

PG :   Mungkin, mungkin mereka berkata, “Percumalah, papa mama suruh renungan bersama tapi kehidupannya seperti itu, tidak harmonis, buat apa ?” Jadi mereka menjadi tawar hati, Bu Dientje. Maka sekali lagi penting sekali itu kekudusan, kita tidak bisa menjadi saksi Kristus di rumah kalau kekudusan sudah tidak ada lagi.

GS :   Memang Tuhan selalu memerintahkan kepada umat-Nya untuk mendidik anak-anak mereka hidup kudus di hadapan Tuhan, tapi yang paling sulit adalah memberikan teladan kepada mereka bagaimana hidup kudus itu sendiri, Pak Paul. Untuk menyimpulkan perbincangan kita pada saat ini, mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG :   Di Mazmur 84:12, firman Tuhan berkata, “Sebab Tuhan adalah matahari dan perisai, kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela“. Inilah janji Tuhan kepada kita yang hidup kudus, hidup tidak bercela, Ia akan melimpahkan kita dengan kebaikan, kasih dan kemuliaan.

GS :   Jadi kita memang hidup berdasarkan kebenaran firman Tuhan itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Dampak Kudus pada Anak”. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Kita semua mafhum bahwa kekudusan adalah karakteristik yang penting.  Kita pun menghendaki agar anak kita memiliki karakteristik tersebut.  Pertanyaannya adalah, darimanakah anak belajar untuk hidup kudus dan tulus? 

Nah, jika anak belajar berjalan dan makan dari orang tua, tentulah anak belajar hidup kudus dari orang tua pula. Singkat kata, anak belajar kekudusan dari kekudusan kita, orang tuanya.  Berikut akan dipaparkan dampak kehidupan yang kudus pada anak.

Setidaknya ada tiga dampak kekudusan orang tua pada anak. 

PERTAMA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK DIINGATKAN BAHWA DI TENGAH DUNIA YANG KOTOR, MASIH ADA ORANG YANG HIDUP KUDUS.  Oleh karena kita dilahirkan dalam dosa, maka dorongan alamiah pada diri kita adalah untuk berdosa.  Dan, oleh karena kita hidup di dalam dunia yang telah tercemar oleh dosa, maka arah hidup kebanyakan orang di dunia adalah menuju dosa pula.

Itu sebabnya makin anak bertumbuh dewasa, makin ia harus bersentuhan dengan dosa.  Makin ia bertumbuh dewasa, makin sering ia berhadapan dengan pilihan menaati Tuhan atau berdosa.  Nah, di titik genting ini, penting bagi anak untuk diingatkan bahwa di dunia masih ada orang yang hidup kudus yaitu kita, orangtuanya.  Jika anak tidak dapat melihat kita sebagai orang yang hidup kudus, maka makin melemah pulalah dorongan dan tekadnya untuk hidup kudus.

KEDUA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK PUN BERKESEMPATAN UNTUK BELAJAR BAGAIMANA HIDUP KUDUS. Makin anak dewasa dan bertemu dengan beragam manusia, makin besar godaan untuk menyamaratakan semua orang sebagai orang berdosa.  Masalahnya adalah, manakala kita menyimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna, maka makin besarlah godaan untuk mengatakan bahwa tidak mungkin kita dapat hidup kudus.

Anak perlu tahu bahwa bukan saja masih ada orang yang hidup kudus, tetapi juga bahwa ia pun dapat hidup kudus.  Nah, untuk itu ia perlu belajar bagaimana hidup kudus dari kita.  Sudah tentu pelajaran pertama hidup kudus adalah melihat contoh konkret hidup kudus.  Sewaktu anak melihat kesetiaan kita kepada Kristus dan keluarga, ia melihat hidup kudus.  Sewaktu ia melihat kesungguhan kita melayani Tuhan, ia melihat kekudusan.  Sewaktu ia melihat kejujuran kita, ia pun melihat kekudusan.

Selain dari melihat, anak pun perlu mendengar bagaimanakah kita menghadapi pencobaan.  Kita semua adalah manusia yang terbuat dari darah dan daging yang telah tercemar oleh dosa, itu sebabnya kita dapat dicobai dan mungkin sekali, kita pun pernah jatuh ke dalam dosa.  Nah, sesuai dengan usia dan kondisi kehidupan anak, bagikanlah pengalaman hidup bergumul dengan dosa.  Ceritakanlah kekalahan dan kemenangan kita agar anak mengerti dengan realistik bagaimanakah ia pun dapat mengatasi pencobaan.

Tatkala anak mendengar pengalaman kita bergumul dan menghadapi pencobaan dosa, bukan saja ia akan dikuatkan untuk bertahan, ia pun mungkin akan dapat menemukan jalan keluar yang dibutuhkannya.  Ia pun diingatkan bahwa ia pun manusia sama seperti kita dan bahwa kenyataan ia tergoda, tidak berarti bahwa ia terlebih buruk dari kebanyakan orang.  Sebab ternyata, pergumulannya tidak jauh berbeda dengan kita semua.

KETIGA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK MELIHAT INDAHNYA DAN SUKACITANYA HIDUP DALAM KEKUDUSAN. Kadang orang beranggapan bahwa hidup kudus adalah hidup yang menyedihkan.  Anggapan ini amatlah keliru !  Hidup kudus adalah hidup yang membahagiakan karena hanya di dalam kekudusan terdapat sejahtera. 

Hidup dalam kekudusan membuat kita jauh dari kecemasan.  Kita tidak perlu menyembunyikan diri dan kita bisa hidup dengan merdeka.  Hidup dalam kekudusan membuat kita sejahtera sebab tidak ada konsekuensi dosa yang tengah menanti.  Hidup dalam kekudusan membawa kebahagiaan bagi Tuhan dan ini membuat hati bersukacita.  Sewaktu anak melihat “manfaat” hidup kudus, ia pun lebih terdorong untuk mengikuti jejak kita hidup kudus.

Firman Tuhan

                Mazmur 84:12 berkata, “Sebab Tuhan adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.”  Inilah janji Tuhan kepada kita yang hidup kudus—hidup tidak bercela.  Ia akan melimpahkan kita dengan kebaikan, kasih dan kemuliaan.

Pdt. Dr. Paul Gunadi [4]
Audio [5]
Orangtua-Anak [6]
T331B [7]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/dampak_kudus_pada_anak

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T331B.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] https://www.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[5] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[6] https://www.telaga.org/kategori/orangtua_anak0
[7] https://www.telaga.org/kode_kaset/t331b