TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://www.telaga.org)

Depan > Menebus Waktu yang Terhilang

Menebus Waktu yang Terhilang

Kode Kaset: 
T328B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kita tidak hidup dalam dunia yang sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar. Mungkin karena ketidaktahuan atau penyebab lainnya, kita gagal menghabiskan waktu bersama pasangan. Di sini akan dibahas hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menebus waktu yang terhilang.
Audio
MP3: 
3.4MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang “Menebus Waktu yang Terhilang”. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS :   Pak Paul, pada kesempatan yang lampau, kita membicarakan tentang beberapa kendala di dalam pasangan suami istri mengisi waktu mereka bersama-sama. Dan kita beberapa waktu yang lalu juga sudah membicarakan tentang pentingnya kebersamaan itu. Kita akan lebih lanjut membicarakan hal-hal itu namun supaya para pendengar kita memunyai gambaran yang lebih lengkap tentang apa yang kita bicarakan, mungkin Pak Paul bisa mengulang sejenak.

PG :   Pada dasarnya kita membicarakan adanya kendala didalam mengisi waktu bersama antara wanita dan pria, kendala yang kita bicarakan adalah betapa berbedanya pria dan wanita dalam hal mengisi waktu bersama-sama, wanita jauh lebih menginginkan adanya kontak verbal sehingga cenderung mau memperpanjang percakapan dan mengisinya dengan lebih banyak detail sedangkan pria tidak, kadang muncul konflik karena hal itu. Yang lain juga karena pria maunya berbicara to the point kalau tujuannya sudah tercapai maka tidak diperpanjang lagi sehingga wanita seringkali merasa seperti instruksi tidak ada bahasa kasih, tidak ada lagi toleransi sehingga nantinya si istri malas untuk bicara dengan si suami. Maka masing-masing harus saling mengerti meskipun berbeda tapi masih bisa dijembatani dengan cara suami belajar untuk mendengarkan, membiarkan istri berbicara lebih banyak dan istri juga waktu melihat suami misalkan sudah mulai jenuh atau konsentrasinya mulai terbagi maka dia mungkin bisa hentikan dan istri belajar lebih to the point sehingga tidak terlalu panjang. Jadi masing-masing mencoba untuk meningkatkan toleransi dan saling pengertian, sehingga itu nanti akan menjembatani. Dan yang kedua adalah kendala kesibukan karena masing-masing punya kesibukan yang berbeda dan akhirnya waktu bersama juga makin berkurang, dampak negatifnya dari makin berkurangnya waktu bersama biasanya kita kurang sabar. Kebalikannya orang yang makin banyak mengisi waktu bersama justru lebih sabar dengan satu sama lain dan kelemahan masing-masing, tapi orang yang jarang menghabiskan waktu bersama tambah tidak sabar dengan kelemahan pasangannya atau hal-hal yang dia tidak sukai. Jadi penting kita mengisi waktu bersama sehingga kesabaran juga makin terbangun sehingga relasi kita pun makin lebih kuat.

DL :   Ini ada pertanyaan, Pak Paul, apa yang harus diperbuat bila nasi sudah menjadi bubur alias sudah terlambat karena satu dan lain hal suami atau istri kurang memberi waktu pada pasangannya dan sekarang mereka ingin merebut kembali waktu yang terhilang. Apakah ada hal yang harus dilakukan dan apakah ada hal yang jangan dilakukan oleh mereka ?

PG :   Kita tidak hidup dalam dunia yang sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar, mungkin karena ketidaktahuan atau penyebab lainnya, kita gagal mengisi waktu bersama pasangan. Ada yang mungkin beranggapan “Karena nasi sudah menjadi bubur maka diam saja dan menjalani hidup apa adanya dan kita tidak perlu lagi berbuat apa-apa”, tapi ada yang mau merebut kembali waktu yang terhilang itu. Coba kita lihat apa yang bisa kita lakukan dan sebaliknya apa yang tidak perlu dilakukan, bila memang waktu telah terlewati tanpa kebersamaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya terpenting dalam menghabiskan waktu bersama adalah mengisinya dengan diri yang terbaik dan kita harus menjadi diri apa adanya namun berusahalah menjadi diri yang terbaik. Jadi langkah pertama adalah mengobati diri sendiri dulu, kita harus berubah dan kita harus menyikapi hidup dengan lebih positif dan kita harus bertumbuh agar lebih sehat dan lebih dewasa, bila kita berubah tidak bisa tidak pasangan pun akan tergugah untuk berbagi waktu dengan kita. Mungkin di masa lampau dia tidak suka berbagi waktu dengan kita, sebab akhirnya dia terluka oleh perkataan dan sikap kita, namun sekarang dia tidak lagi merasa demikian oleh karena kita telah berubah bahkan oleh karena kita telah bertumbuh dewasa maka diapun dapat mengecap manfaat berbagi waktu bersama kita. Hal-hal inilah yang akan membuatnya makin bersedia untuk membagi waktu bersama kita. Jadi intinya kita tidak bisa memaksa pasangan untuk kembali memberikan waktu bersama dengan kita, kita harus terlebih dahulu membuktikan diri bahwa kita telah berubah, biarlah dia menilai dan berilah waktu kepadanya untuk merasa aman dan nyaman berdekatan dengan kita. Kalau dia sudah merasakan itu semua maka dengan sendirinya perlahan-lahan dia juga akan mau memberikan waktunya kepada kita.

GS :   Tapi yang namanya kebersamaan butuh respon yang positif dari pihak yang satunya, Pak Paul, katakan si suami sudah menyadari bahwa dulu waktu bekerja dia sibuk sekali dan tidak sempat untuk meluangkan waktu berbicara dan sekarang dia sudah pensiun sehingga punya waktu cukup banyak untuk bicara, namun kalau si istri yang sudah terbiasa dengan diamnya suami, lalu tiba-tiba kita berubah tanpa dia tahu penyebabnya maka tidak akan ada suatu perbaikan di sana, Pak Paul.

 PG :  Kalau itu yang terjadi maka si suami harus mengutarakan niatnya dan mungkin juga penyesalannya bahwa di masa lampau saya tidak seperti ini, “Ini menjadi terhilang, saya ingin dimasa tua kita menebus hal ini”. Tapi sekali lagi apa pun yang kita katakan kita harus membuktikannya bahwa kita telah berubah, sebab pasangan harus diyakinkan bahwa berbagi waktu bersama kita adalah sesuatu yang nyaman, enak, baik, berguna. Tapi kalau kita tidak bisa meyakinkan hal itu kepada pasangan maka dia juga tidak mau. Jadi kalau kita sudah gagal sehingga nasi sudah menjadi bubur maka kita seolah-olah tidak punya hak lagi untuk menuntut dan kita hanya bisa menawarkan supaya dia tergerak, dan untuk menolong pasangan kita kembali memberi waktunya kepada kita maka kitanya juga harus membuktikan diri. Ini yang saya sering lihat adalah karena merasa bersalah dulu tidak dan sekarang mau merebut waktu kembali dan memaksakan, “Kamu harus seperti ini karena sekarang saya sudah seperti ini, saya sudah baik tapi kenapa kamu masih seperti ini kepada saya” makin diberikan atau disuguhkan kata-kata seperti itu maka pasangannya makin tidak mau dan makin merasa kalau kamu itu dari dulu tidak berubah dan sama, bersikap manis karena ada kepentingannya, begitu kamu tidak mendapatkan yang kamu minta dan saya tidak manis seperti yang kamu harapkan, maka kamu kembali kasar dan menyakiti hati saya. Jadi akhirnya kita tidak bisa lagi menuntut pada saat seperti itu, kalau nasi sudah menjadi bubur kita harus buktikan dengan perbuatan kalau kita telah sungguh-sungguh berubah.

GS :   Memang bukan menuntut, Pak Paul, tapi niat baik ini harus diberi semangat oleh pihak pasangannya, jadi misalnya tadi si istri berkata, “Dulu saya sudah katakan bahwa kebersamaan itu penting, tapi kamu abaikan dan sekarang sudah sama-sama tuanya baru mau dibangun kembali”, kata-kata seperti itu bisa mematahkan semangat suami.

PG :   Itu sebabnya dalam kenyataannya kalau nasi sudah menjadi bubur akan menjadi bubur terus. Jadi kalau sudah sampai titik itu maka memang akan susah sebab yang tadi Pak Gunawan katakan itu sering dikatakan oleh orang, oleh pihak yang merasa, “Dulu kamu seperti itu kepada saya, saya sekarang juga tidak ada keinginan untuk bicara dan membagi waktu bersama kamu, saya tidak bisa diberikan seolah-olah korek api untuk menyalakan kompor, sekarang sudah tidak ada gasnya, diberikan api seperti apa pun akan tetap apinya tidak akan keluar”. Jadi kebanyakan, itulah respons yang diberikan dan betul kata Pak Gunawan, di pihak yang mau merebut kembali begitu mendengar kata-kata seperti itu maka reaksinya adalah patah semangat dan biasanya digantikan dengan kemarahan sebab dia merasa tertolak dan dia merasa, “Saya sudah berusaha dan berubah, tapi kamu tidak menanggapi dengan positif perubahan saya”, sebab dia beranggapan, “Seharusnya kamu ini berterimakasih dan bersyukur karena saya sudah berubah, saya baik kepada kamu, dulu kurang baik dan sekarang sudah baik maka kamu harus berterima kasih”, dan dia tidak ingat bahwa di pihak yang sana sudah tidak peduli lagi entah dia bicara atau tidak bicara, jadi mana mungkin berterimakasih, dengarkan dia bicara saja sebetulnya tidak mau. Jadi pada titik itu sebetulnya sudah sulit dan saya lihat dalam hidup kalau sampai titik itu sudah sangat sulit, maka benar-benar relasi itu seperti pohon yang dibangun, ditumbuhkan dari kecil setahap demi setahap sampai besar dan tidak bisa kita membuat pohon dalam waktu satu hari dari kecil menjadi besar.

GS :   Walaupun itu sulit tapi bukan suatu kemustahilan yang bisa diupayakan, begitu Pak Paul ?

PG :   Saya melihat misalnya kalau pun sampai terjadi biasanya ada sesuatu yang luar biasa terjadi, misalnya si orang yang sudah tidak mau lagi berhubungan karena sudah terlalu sering kecewa dan disakiti, misalnya dia itu jatuh sakit sehingga memerlukan pertolongan, bantuan sehingga terciptalah sebuah situasi dimana dia harus menerima kebaikan dari orang yang pernah menyakiti hati dia, yang pernah menyakiti hatinya juga berkesempatan menunjukkan kebaikan hatinya kepada orang ini. Dalam konteks seperti itu lebih bisa terjadi, tapi biasanya kalau tidak terjadi apa-apa dan biasa-biasa saja maka sangat sulit. Sekali lagi seperti yang Pak Gunawan sudah katakan kalau sudah terlalu lama tidak ada apa-apa dan sudah terlalu lama tidak diberikan perhatian dan tidak diajak bicara maka benar-benar relasi itu mati dan perasaan itu sudah mati dan dia lebih nyaman mempertahankan “status quo”. “Tidak perlu diubah lagi diam saja” dan terutama satu hal yang saya perhatikan adalah dia akan merasa pasangannya itu seperti gombal, “Kamu membaik-baiki saya sekarang, merasa menyesal dan mau menebus, jadi sepertinya kamu gombal”, jadi untuk dia percaya dan orang benar-benar atau sungguh-sungguh berniat baik itu agak lama dan susah, seringnya yang satu akhirnya berkata, “Baiklah saya akan coba memberikan kesempatan kembali”. Kemudian ada kejadian dan karena hidup ini tidak sempurna kemudian ada kejadian dimana dia dimarahi lagi, maka relasi itu menjadi buyar dan dia tidak bisa lagi memberikan dirinya dan waktu kepada pasangannya. Kadang-kadang itu yang terjadi yaitu di tengah jalan tabrakan lagi dan yang satu marah lagi seperti dulu dan membiarkan lagi, maka semua ini menjadi hilang.

GS :   Mungkin kekecewaannya menjadi lebih besar daripada yang dulu. Tapi dengan melihat kebutuhan bersama itu menjadi suatu tempat atau titik di mana mereka memulai kebersamaan itu. Misalnya pada saat si suami sudah pensiun dan si istri kondisi tubuhnya mulai melemah menjadi saling membutuhkan misalnya dari segi finansial, kesehatan, dari titik itulah kita bisa memulai kebersamaan dan mengatakan, “Kita sekarang harus saling tolong menolong”.

PG :   Betul, biasanya kalau terjadi sesuatu yang luar biasa, lebih dimungkinkan relasi itu dijahit kembali dan biasanya di hari tua yang saya lihat dan sering menjadi penyatu kembali adalah sakit, karena yang satu sakit maka yang satu menjadi terpaksa memberikan perawatannya atau dua-duanya sakit, tapi masih bisa saling merawat maka itu memaksa mereka untuk saling bergantung satu sama lain. Jadi itu yang menjadi titik tolak, titik berangkat yang baru.

GS :   Tapi kesempatan ini memang harus digunakan oleh mereka berdua, karena kalau dibiarkan lewat maka juga akan lewat begitu saja.

PG :   Betul. Karena ada juga yang seperti ini walaupun dia sakit, tapi dia justru tidak mau terima perawatan dari pasangannya, dia akan memaksa anaknya yang merawatnya karena dia sudah tidak nyaman dengan kehadiran pasangannya. Jadi walaupun pasangannya sudah baik mau merawatnya, dia tidak suka sehingga dia mati-matian lebih mau anaknya yang datang dan merawat dia, dan membuat anak juga tertekan dan akhirnya anak akan berkata, “Kan ada papa di rumah, kenapa harus saya juga yang datang ?” mungkin karena tidak nyaman. Sebab dalam kondisi yang tidak nyaman misalnya yang satu mengatakan sesuatu yang kurang tepat, perawatannya kurang pas akhirnya dimarahi dan dia akan marah, “Saya sudah berbaik hati mau merawat kamu tapi kenapa kamu begitu kasar kepada saya dan tidak menghargai saya” akhirnya memutar kembali.

GS :   Tapi sebenarnya itu bisa dilakukan sebelum musibah atau penyakit itu datang dengan suatu kesadaran bersama bahwa usia mereka sudah mulai memasuki masa tua dan mereka memersiapkan ini bersama-sama dan ini membutuhkan komunikasi dan kebersamaan.

PG :   Idealnya seperti itu. Jadi kalau dua-dua bersedia dan memunyai tekad maka akan menjadi indah dan sangat dimungkinkan tercipta relasi di antara mereka tapi seringkali yang saya lihat adalah yang satu tidak ada lagi motivasi dan tidak mau. Jadi akhirnya bagi dia lebih baik hidup seperti ini, karena nanti akan susah dan nanti saya terluka lagi. Apalagi lama-lama akhirnya dia terbukti karena yang ini tetap memberikan sikap negatif dan tidak mau didekati, yang satunya tinggal tunggu waktu dia meledak lagi dan panas lagi, “Saya sudah berubah tapi kamu tetap seperti ini kepada saya” akhirnya ribut lagi, begitu satu kali ribut maka prosesnya mundur, tiap kali ribut mundur lagi dan kalau ribut lagi akhirnya bukan hanya mundur tapi juga berhenti.

GS :   Itulah sebabnya banyak pasangan di usia tua mereka tidurnya terpisah dan mereka memilih tidur sendiri-sendiri karena sudah tidak ada lagi yang dibicarakan dan dilakukan, lebih baik tidur sendiri-sendiri, begitu Pak Paul ?

PG :   Dan jarang terjadi komunikasi. Banyak pasangan tua yang jarang berkomunikasi tapi mereka tetap meneruskan walaupun sudah tidak terjadi apa-apa lagi. Akhirnya rasa tanggung jawablah yang menyatukan mereka.

DL :   Tapi Tuhan bekerja lewat koridor waktu, bagaimana Tuhan bisa membentuk pasangan supaya menggenapi kehendak-Nya dan rencana-Nya ?

PG :   Betul sekali kata Ibu Dientje, memang Tuhan bekerja melalui koridor waktu. Apa yang Dia lakukan waktu Dia bekerja lewat koridor waktu ? Dia sebetulnya membentuk kita, jadi Tuhan tidak pernah berhenti membentuk, itulah karyanya Tuhan dan Dia mula-mula menciptakan kita dan ketika kita jatuh ke dalam dosa, Dia menciptakan kita kembali menjadi manusia yang baru dan itulah  yang Tuhan lakukan dalam hidup kita. Tujuannya supaya kita menjadi serupa dengan Dia, diperlukan waktu yang panjang untuk menjadikan kita pengampun dan pemurah, diperlukan waktu yang panjang untuk membuat kita penyabar dan penyayang dan diperlukan waktu untuk memahat kita menjadi rendah hati dan tulus. Jadi bila kita ingin memberi diri yang terbaik kepada pasangan maka pertama-tama kita harus memberi diri kita kepada Tuhan terlebih dahulu. Kita harus mendengarkan dan menaati firman-Nya dan kita harus melawan keinginan pribadi dan menuruti keinginan Tuhan. Jadi lewat berbagai peristiwa Tuhan akan membentuk kita agar serupa dengan-Nya, ketika kita bersedia dibentuk oleh-Nya maka Dia akan terus membentuk kita sehingga kita makin hari makin serupa dengan-Nya. Pada akhirnya diri yang makin serupa Kristuslah yang kita persembahkan kepada satu sama lain. Jadi biarlah Tuhan membentuk kita lewat waktu. Dan memang waktu itu diperlukan sehingga akhirnya diri yang serupa Kristus yang kita berikan kepada pasangan kita. Waktu kita lebih bisa memberikan diri yang serupa Kristus kepada pasangan maka waktu yang kita isi pun menjadi waktu yang lebih indah, kalau kita memberikan diri yang kebalikan dari Kristus yang jahat, kasar dan sebagainya, maka waktu itu bukan untuk memulihkan tapi malah menghancurkan kehidupan pasangan kita.

GS :   Berbicara tentang waktu, ini masing-masing pasangan berbeda-beda, ada yang secara cepat dipulihkan tapi ada yang begitu panjang sampai akhirnya mereka tidak memunyai kesempatan untuk pulih kembali dan bisa bersama-sama lagi karena dengan berjalannya waktu mereka tentu makin lama makin tua, Pak Paul.

PG :   Jadi seyogianyalah dua-dua berkata terutama yang dilukai berkata, “Baiklah memang saya telah dilukai dan saya telah menjadi korban, tapi sekarang dia mau bertobat maka saya mau percaya bahwa dia mau bertobat dan saya mau melakukan ini demi Tuhan bahwa Tuhan meminta saya untuk menjadi seorang pengampun dan juga pemberi kesempatan kedua, jadi saya mau jadi orang seperti itu”. Jadi dimana telah disinggung pertama-tama kita harus menyerahkan diri kita kembali kepada Tuhan sehingga bukan kehendak kita atau bukan apa maunya kita tapi apa maunya Tuhan, kalau kita mau datang kepada Tuhan dan berkata seperti itu maka barulah kita bisa memberikan diri kita kepada masing-masing sehingga akhirnya kita menjadi dibentuk.

GS :   Kalau waktu itu dibiarkan lewat dan kesempatan yang diberikan Tuhan diabaikan maka yang ada hanyalah penyesalan di hari tua, Pak Paul.

PG :   Betul sebab pada akhirnya memang tidak bisa lagi diambil kembali dan hilang begitu saja dan semakin tua makin terbatasi, misalnya kita menderita stroke, mau bicara saja tidak bisa, bagaimana mau bicara ?

GS :   Dan peran pasangan apa di sini, Pak Paul ?

PG :   Tuhan memakai pasangan untuk turut membentuk kita. Jadi melalui interaksi baik yang positif atau negatif, Tuhan membentuk kita dan sudah tentu semua terjadi lewat waktu dan harus diakui kadang lebih mudah menerima misalnya bentukan atau teguran dari teman daripada dari pasangan sendiri. Dan juga bukankah kita lebih sabar menoleransi kelemahan orang lain daripada pasangan sendiri. Namun lewat semua itulah Tuhan membentuk kita, adakalanya kita tidak sabar menunggu terjadinya perubahan pada pasangan, adakalanya memang perubahan datang cepat, namun kadang datang lambat tapi Tuhan terus bekerja meskipun kita tidak selalu tanggap, itu sebabnya perubahan tidak kunjung datang. Maka kalau kita mau cepat berubah, waktu Tuhan mulai mengubah kita dan menunjukkan apa yang harus dan tidak harus kita lakukan maka kita harus taati terus. Namun waktu kita melihat pasangan kita belum bertumbuh dan sama seperti dulu bahkan masa penantian itu pun dapat digunakan Tuhan untuk membentuk kita, sehingga akhirnya kita menjadi orang yang tabah untuk menahan derita dan kita juga akhirnya makin bertumbuh.

GS :   Jadi sebenarnya tidak ada kata terlambat bagi pasangan-pasangan yang memunyai tekad yang kuat untuk kembali bersama-sama dengan pasangannya di dalam berkomunikasi dan hidup bersama seperti itu, Pak Paul.

PG :   Betul asalkan mau dan ada tekad, saya kira tidak ada kata terlambat tapi memang yang seringkali menghalangi adalah dua, yaitu ego dan takut sakit. Karena ego akhirnya gengsi dan berkata, “Untuk apa dan tidak perlu, daripada terus dihina dan ditolak, untuk apa bertobat dan melakukan yang dia inginkan”. Yang kedua adalah takut disakiti kembali, takut terluka kembali. Jadi bagi siapa yang mau memulai proses ini maka dia harus menghilangkan egonya dan berani mengambil resiko untuk terluka.

GS :   Tanpa harus menunggu bahwa pasangan kita untuk berubah dulu daripada kita, Pak Paul.

PG :   Betul sekali. Kalau kita saling menunggu maka kita tidak akan pernah memulai.

GS :   Dan kebersamaan itu tidak akan terwujud dalam keluarga yang mereka bina sejak muda.

PG :   Betul.

GS :   Pak Paul, untuk merangkumkan perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG :   Saya bacakan dari Filipi 1:27, “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil”. Jadi firman Tuhan meminta kita untuk hidup berpadanan dengan Injil Kristus, artinya kita itu sama serupa dengan apa yang Injil Kristus ajarkan supaya kita satu roh, sehati, sejiwa. Jadi itulah yang Tuhan nantikan dan Tuhan ingin lihat dalam diri kita dan jangan sampai waktu Tuhan menjumpai kita dan yang dijumpai adalah kita tidak sehati, tidak satu roh, tidak sejiwa dan bahkan terbelah-belah, maka itu akan mendukakan hati Tuhan.

GS :   Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Menebus Waktu yang Terhilang”. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [2] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [3]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Kita tidak hidup dalam dunia yang sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar. Mungkin karena ketidaktahuan atau penyebab lainnya, kita gagal menghabiskan waktu bersama pasangan. Ada yang mungkin beranggapan, oleh karena "nasi sudah menjadi bubur" alias sudah terlambat, maka ya sudah, jalani saja hidup apa adanya. Kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Namun mungkin ada juga yang ingin "merebut" kembali waktu yang terhilang.  Mari kita lihat hal-hal yang dapat dilakukan dan sebaiknya tidak perlu dilakukan bila waktu telah terlewat tanpa kebersamaan.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, terpenting dalam menghabiskan waktu bersama adalah mengisinya dengan diri yang terbaik. Kita mesti menjadi diri apa adanya namun berusahalah untuk menjadi diri yang terbaik. JADI, LANGKAH PERTAMA ADALAH MENGOBATI DIRI SENDIRI DULU. Kita mesti berubah; kita harus menyikapi hidup dengan lebih positif; kita mesti bertumbuh sehat agar dapat bersikap dewasa. Bila kita berubah, tidak bisa tidak, pasangan pun akan lebih tergugah untuk berbagi waktu bersama kita.

Mungkin di masa lampau, ia tidak suka menghabiskan waktu bersama kita sebab akhirnya ia harus terluka oleh sikap dan perkataan kita. Namun sekarang, ia tidak lagi merasa demikian oleh karena kita telah berubah. Bahkan oleh karena kita telah bertumbuh dewasa, ia pun dapat mengecap manfaat berbagi waktu bersama kita. Hal-hal inilah yang akan membuatnya makin bersedia untuk menghabiskan waktu bersama kita.

Dengan kata lain, kita tidak bisa memaksa pasangan untuk menghabiskan waktu bersama kita. Kita harus terlebih dahulu membuktikan diri bahwa kita telah berubah. Biarlah ia menilai dan berilah waktu kepadanya untuk merasa aman dan nyaman berdekatan dengan kita. Memaksakan kehendak hanyalah akan menambah jarak di antara kita.

Kesimpulan

Tuhan bekerja melalui koridor Waktu.  Tuhan bekerja melalui koridor Waktu untuk membentuk relasi kita dalam pengertian, IA BEKERJA LEWAT WAKTU UNTUK MEMBENTUK KITA MENJADI SERUPA DENGANNYA. Diperlukan waktu untuk menjadikan kita pengampun dan pemurah, diperlukan waktu untuk membuat kita sabar dan penyayang, diperlukan waktu memahat kita menjadi rendah hati dan tulus.

Jadi, bila kita ingin memberi diri yang terbaik kepada pasangan, PERTAMA KITA HARUS MEMBERI DIRI KEPADA TUHAN TERLEBIH DAHULU. Dengarkanlah dan taatilah Firman-Nya. Lawanlah keinginan sendiri dan turutilah keinginan Tuhan. Lewat pelbagai peristiwa, Tuhan membentuk kita agar serupa dengannya. Jika kita bersedia dibentuk oleh-Nya, maka Ia akan terus membentuk kita sehingga makin hari kita makin serupa dengan-Nya. Pada akhirnya diri yang makin serupa Kristuslah yang kita persembahkan kepada satu sama lain.

TUHAN PUN MEMBENTUK KITA LEWAT PASANGAN. Melalui interaksiùbaik positif maupun negatifùTuhan membentuk kita dan sudah tentu semua terjadi lewat Waktu. Harus diakui kadang lebih mudah menerima teguran teman daripada pasangan sendiri. Kita lebih sabar menoleransi kelemahan orang lain daripada pasangan sendiri. Namun lewat semua itu Tuhan membentuk kita.

Adakalanya kita tidak sabar menunggu terjadinya perubahan pada pasangan. Ya, adakalanya perubahan datang cepat namun kadang lambat. Tuhan terus bekerja tetapi kita tidak selalu tanggap; itu sebabnya perubahan tidak kunjung datang. Namun lewat waktu menunggu, sesungguhnya kita tengah mengalami pembentukan Tuhan. Di dalam ketabahan menahan derita, kita pun bertumbuh.

Firman Tuhan, Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus supaya apabila aku datang melihat dan apabila aku tidak datang aku mendengar bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injilö (Filipi 1:27) [4]

 

 

 

 

 

 

Pdt. Dr. Paul Gunadi [5]
Audio [6]
Suami-Istri [7]
T328B [8]

URL sumber: https://www.telaga.org/audio/menebus_waktu_yang_terhilang

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T328B.MP3
[2] mailto:telaga@telaga.org
[3] http://www.telaga.org
[4] http://alkitab.sabda.org/?Filipi 1:27
[5] https://www.telaga.org/nara_sumber/pdt_dr_paul_gunadi
[6] https://www.telaga.org/jenis_bahan/audio
[7] https://www.telaga.org/kategori/suami_istri_0
[8] https://www.telaga.org/kode_kaset/t328b