Terluka, Mau Pulihkah ? (Apa yang Dapat Dilakukan Supaya Pulih?)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T604B
Nara Sumber: 
pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Abstrak: 
Apa itu pengampunan, keputusan untuk mengampuni, pengampunan secara emosi, “Perasaan Tidak Mengampuni”, rekonsiliasi.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Di bagian pertama, kita sudah melihat berbagai tanda-tanda atau gejala-gejala orang yang terluka batinnya. Di bagian kedua ini kita akan melihat apa yang dapat dilakukan supaya dapat pulih. Untuk dapat dipulihkan perlu bantuan orang lain, mencari seorang konselor, hamba Tuhan, orang yang dapat dipercayai, teman yang mau mendengarkan dan mencoba mengerti.

Mengapa tidak dapat melakukannya sendiri?

Jalan pemulihan itu sering kali menyakitkan, tetapi ini untuk disembuhkan, dipulihkan, bukan terus-menerus menyakitkan. Jalan pemulihan juga menguras banyak energi, emosi dan berbagai aspek dalam kehidupan kita. Kita butuh ada seorang konselor yang bersedia mendampingi jalan pemulihan itu. Belum lagi, sering kali ada pandangan yang salah, perlu dibimbing supaya dapat menjalaninya dengan benar.

Untuk mau disembuhkan, sebelumnya klien perlu memunyai sikap di bawah ini:

  1. Klien mau merendahkan diri di hadapan Tuhan, tidak sombong. Orang yang masih menyombongkan diri, sulit untuk dipulihkan. Hanya dengan merendahkan diri, orang lebih dapat dibantu untuk dipulihkan.
  2. Klien bersedia merasa dirinya tidak berdaya, dan butuh bantuan dari Tuhan dan sesama. Orang yang merasa dirinya kuat, merasa dirinya tidak butuh bantuan dari siapa pun juga, malah akan lebih susah dipulihkan. Dengan dibantu oleh seorang konselor diharapkan diketahui sebab terlukanya apa dan dapat dibantu untuk dipulihkan.
  3. Klien tidak defensif, tetapi mau menghadapi masalahnya. Kalau klien itu defensif, cenderung sibuk menyalahkan orang lain, tidak mau dengan serius menghadapi masalahnya.
  4. Klien perlu jujur, tidak menutup-nutupi diri. Klien perlu jujur baik terhadap diri sendiri, orang lain (konselor) dan Tuhan. Tanpa kejujuran, sulit sekali dipulihkan, karena selama masih ada hal-hal yang ditutup-tutupi, sulit dihadapi dan sulit dibereskan.
  5. Klien perlu berani mengungkapkan dirinya sendiri, terutama "bau busuk" diri sendiri dan keluarga kepada konselor. Ada yang menganggap mengungkapkan diri itu memalukan, bahkan tidak hormat terhadap orang lain, termasuk keluarganya sendiri.
  6. Klien mau bertanggungjawab apa bagian dirinya dalam pengalaman yang menyakitkan itu, tidak selalu menyalahkan pihak lainnya. Memang ada hal-hal yang karena kesalahan orang lain, tetapi ada hal-hal yang klien sendiri perlu bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri.
  7. Klien mau bekerja sama dengan baik dengan konselor, mengikuti arahan konselor dengan baik. Tanpa kerja sama yang baik, akan sulit mencapai pemulihan yang baik.
  8. Klien bersedia berjuang keras untuk menghadapi dan membereskan masalahnya dengan bantuan Tuhan. Mengingat jalan pemulihan itu tidak mudah, klien perlu mau berjuang keras.
  9. Klien perlu terus bersemangat mengikuti konseling meskipun menyakitkan. Namun meskipun jalannya tidak mudah dan bisa menyakitkan itu untuk dipulihkan.
  10. Klien perlu sabar karena perubahannya sedikit demi sedikit, tidak dapat sekaligus. Ada orang tidak sabar, minta cepat selesai. Tetapi sering kali pengalaman yang menyakitkan itu sudah dialami cukup lama. Perubahannya meskipun sedikit demi sedikit, tetapi menguatkan dan menuju ke arah pemulihan.
  11. Klien bersedia melihat dari pandangan lain, bukan yang sudah dilihatnya selama ini, yang sudah biasa dilakukan. Pandangan klien sendiri dapat sesuai dengan pandangan dirinya sendiri yang "terpengaruh" oleh pengalaman dirinya yang menyakitkan, sehingga tidak selalu menyeluruh dan benar.
  12. Klien tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, karena setiap orang itu berbeda. Dengan memiliki sikap yang benar seperti disebutkan di atas, sekarang klien dapat dibimbing melalui jalan pengampunan, karena jalan pemulihan yang terbaik melalui jalan pengampunan. Jalan pengampunan itu sangat menyakitkan, karena kita perlu menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan untuk dibereskan. Jalan pengampunan itu dapat merupakan jalan panjang, tetapi dapat membebaskan dari belenggu yang membuat kita tidak dapat berfungsi dengan baik.

I. Apa Itu Pengampunan?

Pengampunan adalah proses perubahan setelah terjadi kesalahan. Pengampunan tidak mengingkari sudah terjadi kesalahan atau pengalaman yang menyakitkan. Pengampunan juga bukan berpura-pura tidak pernah terjadi pengalaman yang menyakitkan. Pengampunan bukannya melupakan apa yang pernah terjadi. Suatu kesalahan atau kejadian yang menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri kita merupakan suatu sejarah, kita tidak dapat mengingkarinya, juga tidak mungkin melupakannya. Kita harus menghadapi apa yang sudah pernah terjadi, kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan. Dengan pengampunan kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi dan oleh hal yang melukai hati kita. Mengingat kita tidak dapat mengubah sejarah dan kita juga tidak dapat mengubah apa yang sudah pernah terjadi, seharusnya kehidupan kita tidak dikendalikan lagi oleh apa yang pernah kita alami di masa lalu. Hanya dengan demikian kita dapat disembuhkan dari luka batin yang disebabkan apa yang pernah terjadi di masa lalu kita. Pengampunan adalah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dan sadar oleh orang yang pernah disakiti sehingga siklus batin yang terluka dapat dipatahkan. Pengampunan bukannya menghilangkan akibat perbuatan kesalahan seseorang. Setelah orang berbuat kesalahan, dia harus menanggung akibat kesalahannya. Sikap Allah Bapa terhadap kesalahan kita juga demikian. Meskipun Allah Bapa sudah menyatakan kemurahan-Nya dengan mengampuni dosa kita, tetapi orang yang berdosa masih harus menanggung akibat perbuatan dosanya. Kita dapat melihat banyak contoh di Alkitab, orang-orang berdosa dihukum Allah. Demikian juga orang yang melanggar hukum negara, harus menanggung akibat dari perbuatannya, misalnya dengan membayar denda atau mendekam dalam penjara. Setiap orang harus bertanggungjawab untuk menanggung akibat dari perbuatannya.

M. E. McCullough dan Everett L. Worthington, Jr. mengungkapkan dalam jurnal "Counseling and Values" 39

(1)"Pengampunan adalah suatu fenomena yang kompleks yang berhubungan dengan emosi, pikiran dan tingkah laku, sehingga dampak dan penghakiman yang negatif terhadap orang yang menyakiti dapat dikurangi." Oleh sebab itu melalui pengampunan suhu kemarahan seseorang dapat turun dengan drastis. Pengampunan dapat mengubah secara langsung emosi kemarahan orang dan membuahkan hasil yang positif. Everett L. Worthington, Jr. membuat perbedaan antara dua jenis pengampunan, yaitu "keputusan untuk mengampuni" dan "pengampunan secara emosi", demikian juga dengan "perasaan tidak mengampuni" dan "rekonsiliasi".
  1. Keputusan untuk Mengampuni "Keputusan untuk mengampuni" berarti saya mengambil keputusan untuk tidak menyimpan kebencian, kepahitan, kemarahan, dendam dan balas dendam terhadap pasangan saya, termasuk orang lain. Selain itu saya juga tidak akan dengan sengaja menghindari pembicaraan dengan mereka. Saya mau membebaskan mereka dari utang kesalahan mereka, sehingga mereka dapat dibebaskan dari perbuatan salah mereka. Saya akan bertindak dan memerlakukan mereka seperti dahulu sebelum terjadi kesalahan. Mengapa pengampunan harus termasuk orang lain juga, bukan hanya antara suami istri saja? Banyak sekali sudah terbukti ternyata dendam, marah dan sakit hati terhadap orang lain yang disimpan dan belum dibereskan akan membawa dampak negatif terhadap pasangan suami istri dan keluarga yang baru mereka bentuk bersama. Maka untuk meningkatkan hubungan pernikahan pasangan suami istri itu sendiri, baik suami maupun istri harus juga mengampuni orang lain yang mereka anggap pernah menyakiti hati atau melukai batin mereka. Tuhan Yesus mengajarkan kita harus mengambil keputusan untuk mengampuni. "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu". (Matius 6:14-15)
  2. Pengampunan Secara Emosi "Pengampunan secara emosi" berarti emosi saya yang negatif diubah menjadi emosi yang positif; seluruh orientasi emosi saya juga berubah. Kasih dapat dengan cepat mengubah keadaan yang negatif ini. Kasih semacam ini bukanlah cinta kasih secara erotis, tetapi cinta kasih yang sesungguhnya, seperti kasih yang diajarkan oleh Rasul Paulus. "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan". (1 Korintus 13:4-8a) Untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, termasuk antara anggota keluarga dan antara suami istri, bukan hanya butuh pengertian tentang kedua macam pengampunan, yaitu "keputusan untuk mengampuni" dan "pengampunan secara emosi". Tetapi sewaktu orang lain berbuat kesalahan dan menyakiti Anda, pertama-tama Anda harus mengambil keputusan untuk mengampuni. "Pengampunan secara emosi" butuh waktu yang lebih panjang, kadang-kadang pasangan yang bersalah perlu dengan adil dan benar membenahi akibat perbuatannya dahulu, baru dapat terjadi "pengampunan secara emosi". Kita mengampuni sesama kita karena Tuhan Allah sudah mengampuni kita dahulu. Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang pengampunan di Matius 18:32-33 dan mengajarkan hamba yang sudah diampuni itu perlu juga mengampuni teman sesama hambanya. "Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?" Maka kita perlu mengerti kita semua membutuhkan pengampunan dari TUHAN Allah dahulu. Setelah TUHAN mengampuni kita, baru kita dapat mengampuni orang lain, termasuk mengampuni pasangan kita, orang tua, anak, saudara kandung, anggota keluarga lainnya, para teman, dokter, guru, teman sekantor, teman segereja, teman sepelayanan dan lain sebagainya. Sering kali dalam kehidupan kita, daftar orang yang pernah menyakiti dan melukai hati kita dapat seperti suatu daftar panjang yang tidak ada habisnya dan menunggu untuk kita ampuni. Selain mengampuni orang lain, kita juga perlu mengampuni diri kita sendiri. Orang yang terluka, sering kali menyalahkan dirinya sendiri. Memang kadang-kadang dia sendiri juga bersalah. Tetapi orang yang pernah menyakiti pasangannya, termasuk orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja, perlu juga mengampuni dirinya sendiri. Biasanya orang yang mau mengampuni dirinya sendiri, harus datang dahulu ke hadapan Allah Yang Maha Tahu dengan rendah hati untuk memohon pengampunan-Nya. Dan kalau mungkin dia juga perlu memberanikan diri menghadap pasangannya atau siapa saja yang pernah dia sakiti, setelah memohon pengampunan dari mereka, dia baru dapat mengampuni dirinya sendiri. Mengampuni diri kita sendiri tidak mudah, karena kita bukan hanya harus mengampuni kesalahan yang telah kita perbuat, kita juga harus menerima kekurangan kita. Mungkin kita dapat berpikir,"Mengapa saya dapat jadi orang yang mengerikan seperti ini?" Kita harus mau menerima bahwa diri kita banyak kekurangan dan kesalahan dan kita adalah orang yang tidak sempurna, maka sering kali pengampunan terhadap diri sendiri baru dapat dilakukan setelah waktu yang lama. Mengampuni pasangan dan orang lain bukan berarti perasaan sakit hati, marah, benci dan takut disakiti lagi dapat langsung dibuang dan disingkirkan semua. Berbagai perasaan benci, sakit hati, marah dan takut disakiti lagi itu disebut "perasaan tidak mengampuni". Biasanya untuk mengendalikan dan mengubah berbagai "perasaan tidak mengampuni" butuh waktu. Kalau kita sudah mengampuni pasangan kita dan orang lain, diri kita yang sudah disakiti itu akan berubah dan pasangan kita termasuk orang lain pun dapat melihat dan merasakan perubahan itu melalui tingkah laku, biokimia otak, ekspresi wajah, postur tubuh dan kehidupan sehari-hari kita.
  3. "Perasaan Tidak Mengampuni" Pengampunan dan "perasaan tidak mengampuni" erat hubungannya, tetapi kedua hal itu tidak sama dan tidak saling berlawanan, masing-masing ada aspek khasnya sendiri. "Perasaan tidak mengampuni" adalah perasaan benci, keras, dengki, pahit, marah, takut atau kombinasinya yang diundur. Perasaan itu terjadi setelah orang yang merasa disakiti, baik pihak suami atau istri, melihat kesalahan yang terjadi, lalu timbul berbagai "perasaan tidak mengampuni". Orang yang mengalami berbagai perasaan itu biasanya berusaha mengurangi "perasaan tidak mengampuni" melalui berbagai cara. Cara-cara yang diambil dapat berupa membalas dendam, menyangkal bahwa dia pernah sakit hati, membingkai kembali peristiwa itu secara kognitif, membenarkan tingkah laku orang yang menyakiti, menerima perbuatan yang salah, menempuh jalur hukum dan menerima kompensasi yang adil. Mengurangi "perasaan tidak mengampuni" dapat terjadi tanpa pengampunan, misalnya setelah berhasil membalas dendam. Pengampunan dapat mengurangi "perasaan tidak mengampuni", tetapi mengurangi "perasaan tidak mengampuni" saja tidak berarti mengampuni.
  4. Rekonsiliasi Berbagai ahli yang memelajari pengampunan menyatakan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi merupakan dua hal yang berlainan, prosesnya pun tidak sama. Orang yang disakiti dapat memberi pengampunan, tanpa campur tangan atau permintaan maaf dari orang yang menyakitinya. Dan tidak sama dengan perkiraan banyak orang Kristen, yang menganggap orang yang sudah mengampuni harus rekonsiliasi dengan orang yang pernah menyakitinya. Orang yang mengampuni belum tentu dapat rekonsiliasi atau berbaik kembali dengan orang yang menyakitinya, termasuk pasangannya sendiri. Ini disebabkan pengampunan adalah dari inisiatif orang yang disakiti. Rekonsiliasi dapat juga merupakan inisiatif dari orang yang disakiti, tetapi supaya dapat terjadi rekonsiliasi, baik orang yang pernah disakiti maupun orang yang menyakiti perlu ada komitmen untuk bekerja sama. Pengampunan berjalan satu arah, sedangkan rekonsiliasi dua arah. Rekonsiliasi tergantung apakah tingkah laku dan maksud orang yang menyakiti sudah berubah, sehingga orang yang terluka dapat memercayai orang yang menyakiti lagi. Meskipun pengampunan penting, terutama dalam hubungan pernikahan, tetapi rekonsiliasi tidak tepat untuk semua keadaan, terutama yang berhubungan dengan kekerasan, dimana mungkin dapat terjadi pelanggaran batas dan penganiayaan yang berkepanjangan. Jadi setelah pengampunan belum tentu harus terjadi rekonsiliasi dan juga belum tentu harus menjalin hubungan yang mesra lagi. Pengampunan dan kepercayaan tidak sama, terutama dalam hubungan yang penuh diwarnai dengan kekerasan dan pelanggaran hukum. Hubungan suami istri yang penuh dengan kekerasan sulit berbaik kembali, karena pihak yang sudah disakiti itu tentunya ingin melindungi diri, supaya tubuh dan emosinya tidak terluka lagi, bahkan jiwanya pun tidak terancam. Selain itu pengampunan bukan merupakan suatu senjata yang digunakan orang yang menyakiti untuk mengendalikan orang yang disakiti. Misalnya ada suami yang karena berbagai alasan mengolok-olok, memukul, menekan, menyakiti, mengendalikan atau melakukan berbagai tindakan kekerasan terhadap istrinya. Setelah tindakan kekerasan itu sang suami dengan berbagai cara merayu istrinya untuk mendapatkan pengampunan dan dapat rekonsiliasi dengan istrinya kembali. Tetapi setelah rekonsiliasi, sang suami dengan berbagai alasan kembali melakukan tindakan kekerasan dan mengendalikan istrinya dengan kekerasan lagi. Ini dapat terjadi berulang-ulang dan terus-menerus. Rekonsiliasi belum tentu cocok untuk semua jenis hubungan, tetapi semua orang Kristen harus belajar mengampuni orang lain. Pengampunan dapat memberi kebebasan kepada kita, kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang sudah pernah terjadi. Jadi pengampunan adalah perjalanan untuk kebebasan, tetapi kita sendiri harus memilih, maukah kita berjalan dalam perjalanan yang memberi kebebasan ini?
  1. "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu" (Markus 11:25)
  2. "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Matius 6:14-15)
Ada 6 langkah pengampunan yang diajarkan David Stoop & J. Masteller, yaitu:
  1. Mengetahui lukanya apa. Tanpa mengetahui lukanya apa, kita tidak dapat mengetahui dengan tepat apa yang perlu diampuni.
  2. Tahu apa perasaannya (rasa bersalah, marah, takut, sedih). Dengan mengetahui perasaannya, klien dapat lebih mengerti tentang dirinya sendiri dan dampak dari luka di hatinya.
  3. Mengeluarkan "racun" luka (termasuk marah, dukacita). Orang yang hatinya terluka, dampaknya dapat merupakan racun yang bercokol di dalam hidupnya. Kita semua tahu, racun yang dibiarkan di dalam tubuh kita itu dapat merusak tubuh kita, bahkan akibatnya kita tidak dapat berfungsi dengan baik, membuat kita sangat sakit, bahkan bisa fatal.
  4. Menghilangkan utang—mengampuni. Dengan menghilangkan utang orang lain, dapat membuat kita bebas dari segala sakit hati, luka dan belenggu yang menyeret langkah-langkah kita untuk maju.
  5. Ada batasan untuk melindungi diri. Orang-orang yang masih sering melukai klien, misalnya dengan tutur kata dan perbuatannya, meskipun sudah ada pengampunan, perlu dibuat batasan. Misalnya seorang anak dewasa yang kerja di perusahaan orang tua, tetapi terus-terusan dimarahi, seperti sejak dari kecil, dapat memilih kerja di perusahaan orang lain.
  6. Kalau bisa rekonsiliasi

Rekonsiliasi itu dua arah, pengampunan itu satu arah. Pengampunan harus dilakukan, tetapi rekonsiliasi belum tentu tepat untuk semua keadaan dan semua orang. Kalau orang yang melukai itu tetap tidak mau berubah, misalnya tetap tidak jujur, selingkuh dan melakukan berbagai kekerasan, rekonsiliasi sulit dilakukan. Setiap orang butuh mendapatkan kelepaskan dan dipulihkan. Semoga semua orang mau dipulihkan supaya menjadi orang yang bebas dari cengkeraman belenggu yang menyakitkan. Orang yang sudah terlepas dari belenggu itu dapat bebas bertumbuh menjadi anak-anak Tuhan yang makin hari makin menyerupai Tuhan!