Wabah Hoax

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T506A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, MK.
Abstrak: 
Perkembangan dunia digital membuat setiap individu berpotensi menjadi “pembuat berita” dan “penyebar berita”. Sayangnya ada sekian banyak orang yang tidak bertanggung jawab sehingga membuat berita yang tidak benar (hoax) dan akhirnya menyebar sedemikian cepat dalam jejaring media sosial. Bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Perkembangan jumlah netizen atau warganet di Indonesia relatif cukup pesat. Ditaksir Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia sampai tahun 2015 sudah mencapai 63 juta orang dan 95 persen di antara mereka menggunakan akun media sosial untuk berinteraksi dalam jejaring internet. Perkembangan dunia digital dan media sosial sebagai konsekuensi logis kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, bak pisau bermata dua. Memberi kebaikan dengan berita dan informasi yang dengan cepat kita dapatkan. Sisi lain beberapa di antaranya adalah ternyata berita bohong atau yang biasa disebut dengan nama "hoaks", dari bahasa Inggris "hoax", artinya kabar palsu, cerita bohong, lelucon.

Kenapa hoaks dibuat dan cepat tersebar?

  1. Adanya niat jahat dan usil. Orang-orang tertentu berniat memperkeruh situasi masyarakat dan membangkitkan kebencian, misal: ada orang latar belakang ini yang merobek-robek kitab suci, warga kampung ini diganggu warga kampung itu. Memunculkan rasa tidak aman: telah dibantai orang-orang dengan identitas ini. Contoh yang usil: harap kirim berita ini ke 10 akun agar akunmu terselamatkan lewat pembaruan program.
  2. Adanya orang yang tulus mau menolong orang lain, namun tidak cermat dan kritis. Informasi tentang kesehatan: obat ini-itu, pantang makan ini atau sebaiknya makan itu. Informasi tentang peluang beasiswa, informasi tentang peluang mendapatkan penghasilan tambahan.
  3. Adanya kelompok masyarakat yang haus pengakuan menjadi penyampai berita dan informasi pertama kali. Diri yang kurang memiliki rasa penghargaan diri yang mantap, rawan untuk mengais poin penghargaan diri lewat pengakuan grup medsos bahwa dirinya adalah orang yang tercepat menyampaikan berita dan informasi. Semakin banyak mendapatkan jempol tanda like semakin membuat rasa harga diri meningkat.

Bagaimana menyaringnya?

  1. Lihat kelengkapan datanya:
    1. Adakah tanggal, bulan, tahun kejadian jika berkenaan informasi peristiwa. Contoh: doakan malam ini ada penganiayaan di India, gereja-gereja dibakar.
    2. Apakah ada kutipan sumber informasi dan jika ada sumber berita dan informasi yang dicantumkan, apakah memang terpercaya atau meragukan. Meragukan jika misalnya blog pribadi, antara lain: blogspot. Contoh: informasi tentang gejala alam mau kiamat yang ditutup-tutupi para ilmuwan, namun sumber informasinya dari situs pelayanan rohani. Seharusnya sumber datanya situs jurnal ilmiah.
  2. Cek nalar isi informasi dan pemberitaannya, jika pun tak ada kutipan sumber informasi. Contoh: informasi kesehatan tentang pantang makan ini, harus makan ini, melakukan ini dan itu.
  3. Senantiasa mengacu pada media arus utama. Hal ini akan menolong, jika kita rajin mengikuti pemberitaan dan informasi dari media-media arus utama maupun sumber-sumber resmi seperti jurnal ilmiah di antaranya.
  4. Media arus utama adalah media yang menjangkau banyak orang, terdaftar di lembaga resmi yang diakui pemerintah, tergabung dengan organisasi media nasional, dikenal memiliki reputasi baik dalam memberikan informasi dan berita yang dapat dipercayai dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan pemberitaan. Media-media memiliki standar verifikasi, pembuktian, check and recheck sebelum diberitakan. Memang perlu dikenali pula ada media-media resmi yang lebih suka memberitakan hal-hal sensasional dan memiliki kepentingan membela kelompok tertentu.
  5. Jika ragu dan tidak terbiasa mengikuti pemberitaan media arus utama atau tidak menguasai isu di bidang itu, sebaiknya tanyakan ke rekan lain yang dikenal cukup kritis dan jeli.
  6. Strategis pula untuk membangun keberhargaan diri secara sehat. Adanya ketahanan diri dari sisi internal. Terkadang sisi rasionalitas kita abaikan saat sisi emosionalitas kita mengalami defisit. Artinya kita mungkin paham 3 saringan di atas yang telah dibahas, namun diri ini tetap tergoda, terdorong dan terdesak untuk tetap segera copas, forward, sebar luaskan. Rasa harga diri yang defisit menagih untuk segera diisi lewat peluang menggapai popularitas di medsos.

Keberhargaan yang sehat dibangun di atas landasan yang permanen: keintiman dengan Bapa Surgawi dan keintiman yang sehat dengan sesama.

Tambahan: Mungkin bukan hoaks, tapi masih perlu dipertimbangkan sebelum disebarluaskan, yakni: apakah akan memberi manfaat bagi orang lain. Misal foto-foto korban pembunuhan, rekaman video kekejaman terhadap binatang dan manusia, foto atau video korban kejahatan, misal penistaan seksual, penipuan. Foto atau rekaman yang tidak senonoh

Kel.23:1, "Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar". Firman Tuhan ini sangat relevan juga untuk jaman postmo ini.