Tanda Pernikahan Sehat (I)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T499A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tim Gardner mencetuskan tentang enam tanda pernikahan yang sehat. pada sesi pertama ini kita akan membahas tiga tanda yaitu kesatuan, penerimaan, dan keintiman.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Ada banyak cara untuk menilai seberapa sehatnya sebuah pernikahan. Tim Gardner, seorang konselor pernikahan dan keluarga, mencetuskan enam kriteria atau tanda pernikahan sehat. Berikut akan dibahas pokok pemikirannya ditambah dengan pengamatan pribadi saya.

(1) Pertama adalah KESATUAN. Tuhan tidak memanggil kita untuk BERGABUNG dalam pernikahan; Tuhan memanggil kita untuk BERSATU di dalam pernikahan. Kita dapat bergabung bersama orang di dalam suatu wadah atau organisasi tanpa harus menjadi satu dengannya. Nah, tujuan pernikahan adalah menjadikan kita satu dengan pasangan, bukan hanya bergabung dengannya.

Salah satu tanda bahwa kita sudah menyatu dengan pasangan adalah kita mulai meninggalkan pola pikir "aku" dan menggantikannya dengan pola pikir "kita." Di dalam pola pikir "kita" yang hadir adalah kita berdua di mana kita senantiasa mengikutsertakan pasangan di dalam setiap keputusan yang kita buat. Bukan saja kita memikirkan keinginan sendiri, kita pun memikirkan keinginan pasangan. Bukan saja kita memikirkan apa yang baik bagi diri sendiri, kita pun mempertimbangkan apa yang baik buat pasangan.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa makin sehat pernikahan, makin sering dan serius kita memertimbangkan kepentingan pasangan di dalam tindakan dan keputusan kita. Sebaliknya, kita bisa pula menyimpulkan bahwa tanda pernikahan TIDAK sehat adalah kita kurang atau tidak lagi mengikutsertakan pasangan di dalam tindakan dan keputusan yang kita ambil.

Sudah tentu menyatukan dua pendapat atau keinginan yang berbeda jauh lebih sulit ketimbang melakukan apa yang kita sendiri anggap baik. Kendati tidak mudah, kita tetap harus mengusahakannya. Mungkin pada awalnya—dan bahkan untuk kurun yang panjang—kita sering berbenturan, tetapi tetap ini adalah jalan yang sehat dan semestinya. Jangan mengambil jalan pintas dan memisahkan hidup dari pasangan. Usahakanlah menyelaraskan pendapat dan nilai hidup agar pada akhirnya kita makin sehati. Nah, makin sehati, makin sering kita memertimbangkan pendapat dan keinginan pasangan.

Kesatuan juga mengandung arti bahwa kita memikirkan DAMPAK perbuatan dan keputusan kita pada pasangan. Kita sadar bahwa kita tidak lagi hidup sendiri dan bahwa perbuatan dan keputusan kita berpengaruh pada kehidupan pasangan. Itu sebabnya bukan saja kita menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan, kita pun berupaya mencegah bertindak dan mengambil keputusan yang dapat menyusahkan atau merugikan pasangan.

Singkat kata, kesatuan di dalam pernikahan ditandai dengan hidupnya pasangan di dalam diri kita. Ia berada bukan di samping atau di luar diri kita; ia berada DI DALAM diri kita. Meski ia tidak hadir secara jasmnaniah, ia hadir secara batiniah; seakan-akan ia turut mendengar apa yang kita katakan dan melihat apa yang kita lakukan. Kesenangan kita adalah kesenangannya dan kesenangannya adalah kesenangan kita. Kesedihan kita adalah kesedihannya dan kesedihannya adalah kesedihan kita. Itu sebab dalam bertindak dan mengambil keputusan kita tidak mau melakukan apa pun yang membuat dia—dan juga kita—sedih. Kita hanya mau melakukan hal-hal yang membuatnya—dan kita—senang.

(2) Tanda pernikahan sehat adalah adanya PENERIMAAN. Tim Gardner mengatakan bahwa di dalam pernikahan yang sehat, kita tahu bahwa kita dikenal dan diterima apa adanya. Itu sebab di dalam pernikahan yang sehat ada keterbukaan—keberanian dan kebebasan untuk mengutarakan pemikiran, gagasan, impian dan kegagalan kita. Itu berarti di dalam pernikahan sehat kita tidak takut bertengkar atau berselisih pendapat karena kita tahu bahwa perselisihan atau pertengkaran TIDAK akan mengurangi penerimaan pasangan terhadap diri kita.

Penerimaan tidak berarti menghilangkan TUNTUTAN atau PENGHARAPAN dalam pernikahan. Tuntutan dan pengharapan menumbuhkan pernikahan; jadi, tidak apa kita mengutarakan pengharapan dan tuntutan kita. Terpenting adalah pasangan tahu bahwa tuntutan dan pengharapan kita TIDAK mengurangi penerimaan diri kita terhadapnya. Ia tahu bahwa penerimaan kita terhadapnya tidak berhubungan dengan perubahan yang kita harapkan. Tim Gardner menekankan bahwa penerimaan berarti MENGHARGAI pendapat atau pemikiran pasangan. .

(3) Tanda pernikahan yang sehat adalah adanya KEINTIMAN, termasuk keintiman fisik. Di dalam pernikahan yang sehat kita menikmati kebersamaan dengan pasangan. Sewaktu ia tidak bersama kita, kita merasa kehilangan dan kita merindukannya. Kehadirannya kita nantikan. Di dalam kebersamaan itulah keintiman fisik menjadi kepanjangan dari keintiman emosional. Keintiman hanya dapat terjadi bila ada KESATUAN dan PENERIMAAN. Di dalam iklim penerimaan yang kuat, kita berani menjadi diri apa adanya dan berani pula menyerahkan diri apa adanya kepada pasangan, tanpa takut dikritik, apalagi ditolak. Kita pun ikhlas menyerahkan diri kepada pasangan karena kita tahu bahwa kita hadir di dalam hatinya.

Sebaliknya, di dalam pernikahan tidak sehat, kita takut mendekat, apalagi menyatu dengan pasangan. Kita merasa tidak diterima apa adanya; kita takut ditolak atau dikritik. Kalaupun sekarang diterima, kita cemas kalau-kalau penerimaan ini tidak berlangsung lama—setelah menikmati keintiman fisik, ia akan mencampakkan kita. Kita pun sulit untuk menyerahkan diri karena kita tahu bahwa kita tidak berarti banyak baginya. Kita tidak hadir di dalam hidupnya sebab dalam bertindak dan mengambil keputusan, ia tidak mengikutsertakan kita di dalamnya.

Pernikahan yang sehat merupakan buah dari usaha keras yang sehat dari kedua belah pihak. Firman Tuhan mengajarkan, "Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum" (Amsal 11:25). Pernikahan yang sehat dimulai dengan kerelaan untuk memberi berkat kepada pasangan. Di dalam memberi inilah, kita akan diberi.