Kita belajar tentang siapa atau criteria yang bagaimana yang Tuhan kehendaki untuk menjadi pasangan hidup kita. Perjodohan memang di tangan Tuhan tetapi dalam prosesnya kita harus memperhatikan 3 hal yang disampaikan dalam topik ini.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang jodoh. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya akan berkomentar terlebih dahulu tentang masa lampau, tadi Pak Gunawan singgung bahwa di masa lampau orang itu dijodohkan dan pernikahan mereka langgeng sampai akhirnya. Ada beberapa aktor yang membuat pernikahan mereka langgeng dibandingkan dengan pernikahan pada zaman sekarang ini.
Yang pertama adalah faktor tekanan sosial, jadi pada masa dulu lingkup di mana kita tinggal, orang-orang di sekitar kita mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tindakan kita. Jadi kalau lingkup kita itu tidak menyetujui yang kita lakukan, kita lebih tertekan untuk tidak melakukannya, karena apa? Karena pada umumnya pada masa lampau kita masih hidup dalam sistem komunal atau sistem di mana kita ini cukup terkait dengan orang lain. Sekarang kita ini lebih individual, orang tidak lagi terlalu mengenal siapa yang tinggal di sebelah mereka, akibatnya kita juga tidak terlalu tunduk pada sorotan masyarakat seperti dulu kala, itu sebabnya perceraian lebih mudah muncul pada zaman sekarang ini karena apa? Karena manusia ini tidak lagi diikat oleh norma-norma sosial seperti pada masa lampau. Yang kedua, kenapa pada zaman dulu pernikahan itu relatif lebih langgeng dibandingkan sekarang karena kehidupan dahulu lebih simpel, sekarang hidup jauh lebih komplek. Jadi saya kira dua hal ini yang membedakan kenapa pernikahan dulu itu lebih langgeng dibandingkan dengan sekarang. Nah kembali pada tadi yang Pak Gunawan tanyakan, apa artinya perjodohan itu di tangan Tuhan, kalau setelah menikah terus mengalami percekcokan-percekcokan dan akhirnya ada yang bercerai bahkan di kalangan orang-orang Kristen sendiri. Saya pun mempunyai pengalaman pribadi, Pak Gunawan dan Ibu Ida, waktu saya mulai bertengkar dengan istri saya pada awal-awal pernikahan kami, saya suka bertanya-tanya apa yang salah; saya yang salah menginterpretasikan kehendak Tuhankah? Atau saya ini melawan kehendak Tuhan atau saya salah pilih atau apa ini. Saya kira ini pertanyaan-pertanyaan yang baik ya, pada dasarnya kita harus kembali pada konsep apa itu yang dimaksud dengan perjodohan di tangan Tuhan. Pertama adalah kita harus menyadari bahwa Alkitab tidak memberikan kita kriteria yang spesifik tentang jodoh, bahkan kalau kita mau melihat dengan seksama Alkitab tidak secara langsung menceritakan kisah di mana Tuhan menentukan jodoh orang, yang kita tahu dengan pasti di mana Tuhan campur tangan dan menentukan jodoh untuk seseorang adalah dalam kisah Ishak. Eliezer bawahan dari Abraham ayah Ishak pergi untuk mencarikan jodoh buat anak majikannya Ishak itu, dan dia meminta tanda dari Tuhan dan Tuhan menjawab sesuai dengan tanda yang diminta. Dan datanglah Rifkah, akhirnya Ishak menikah dengan Rifkah. Dalam cerita Alkitab hanya satu saja di mana Tuhan turut campur tangan secara langsung dalam menentukan jodoh. Yang lainnya tidak, seolah-olah memang Tuhan memberikan kebebasan kepada anak manusia untuk memilih jodohnya. Jadi yang saya akan gunakan adalah prinsip-prinsip atau kriteria yang Tuhan sudah tentukan buat kita. Yang pertama adalah kita ambil diPG : Dalam pengertian kita bukannya berpacaran secara majemuk, banyak begitu. Dalam pengertian kita bergaul dengan luas maka kalau orang bertanya usia berapa sih yang cocok untuk mulai berpacarn.
Menurut saya usia Perguruan Tinggi, usia kuliah jangan di bawahnya, karena apa? Karena pada usia di bawah usia perkuliahan kita itu sebetulnya masih dalam masa remaja. Dan masa remaja adalah masa pembentukan diri kita, kita masih mencari-cari jati diri dan di saat itulah kita juga bergaul dengan luas sehingga kita mengenal orang juga dengan luas. Setelah kita mengenal dengan luas barulah akhirnya kita siap untuk memulai hubungan yang lebih eksklusif yaitu berdua. Jadi kita waktu memasuki hubungan eksklusif itu kita merasakan juga siap karena kita cukup mengenal orang-orang lain. Saya merasa kasihan kalau ada seorang pemuda atau pemudi yang mulai berpacaran sejak usia misalnya 15 tahun, secara praktis dia tidak mengenal orang lain secara dekat. Terus pacaran sampai umur 25, 26. 10 tahun lebih terus menikah, saya takut kalau-kalau nanti setelah dia menikah baru dia akhirnya menyadari saya baru tahu ada orang lain selain dia yang lebih cocok tapi sudah terlambat.PG : Saya pernah mendengarkan khotbah mantan rektor sekolah saya, mantan rektor seminari saya Headen Robinson. Dia bercerita dan membahas tentang mencari kehendak Tuhan. Ada bahayanya kalau kit itu sedikit-sedikit meminta kehendak Tuhan.
Dia memberikan contoh, dia bilang saya baru berbicara dengan seorang mahasiswi, mahasiswi ini berkata: "Saya sedang mencari kehendak Tuhan boleh tidak main ski. Nah saya sudah menetapkan tandanya kalau orang tua saya mengirimkan uang berarti itu tanda saya main ski, kalau tidak dikirimkan uang saya tidak main ski." Lalu dosen saya berkata: "Engkau salah meminta tanda, kalau engkau meminta tanda dari Tuhan, mintalah tanda yang mustahil dilakukan manusia dan hanya Tuhan yang bisa lakukan." Jadi dia bilang: "Jangan berharap bahwa orang tuamu mengirimkan uang, kamu harus beri tanda kalau besok presiden Amerika Serikat mengirimkan saya uang main ski, itu tanda dari Tuhan. Dia bilang soalnya dengan tanda seperti itu kita tidak mungkin salah menilai ini dari Tuhan atau kebetulan." Dia berikan contohnya Gideon, bagaimana tanda yang Gideon minta adalah tanda yang berlawanan dengan hukum alam. Dan kita juga tahu raja Hosea waktu dia ingin meninggal dunia terus Tuhan menambahkan usianya bayangan berjalan mundur, jadi sesuatu yang memang tidak mungkin dilakukan manusia, jadi itu pesan dosen saya yang saya rasa juga baik. Pada umumnya memang Tuhan tidak bercampur tangan seperti itu, memberikan tanda-tanda khusus dalam mencari jodoh tapi Tuhan memimpin kita melalui hikmat. Seringkali manusia itu sebetulnya cukup melihat tapi tidak memiliki hikmat untuk mau mengakuinya. Misalkan saya pernah membimbing sepasang sejoli yang sedang berpacaran, lebih banyak bertengkar daripada bersukacita, tapi dua-dua tetap mau bersama-sama. Jadi saya langsung berkata saya tidak setuju engkau ini tidak cocok, engkau sendiri yang mengatakan lebih sering bertengkarnya dan susah hatinya, tapi kenapa tidak bisa memisahkan diri, karena itu faktor yang kedua tadi sesuai dengan selera kita begitu. Jadi kembali lagi, kita memang perlu sekali minta bimbingan Tuhan yang lebih bersifat hikmat bukannya minta tanda-tanda seperti itu. Kalau meminta tanda saya anjurkan adalah tanda yang mustahil dilakukan oleh manusia atau terjadi secara kebetulan.PG : Ya, Tuhan akan beritahu kita, misalkan kita ini makin jauh dari Tuhan, tidak semangat pelayanan di gereja. Itu adalah gejala-gejala, tanda-tanda yang Tuhan sedang dikirimkan pada kita.
PG : Betul, jadi itu adalah salah satu contoh di mana kita bergantung pada "tanda" yang sebetulnya belum tentu tanda. Jadi hikmat selalu mendahului hal-hal yang supernatural seperti iu.
Kecuali supernaturalnya yang spektakuler, yang luar biasa. Misalkan seperti tadi contohnya Gideon meminta tanda yang benar-benar tidak bisa dilakukan manusia. Kalau tandanya hanya kemudahan-kemudahan tapi terus dia meninggalkan keluarganya, melalaikan keluarganya. Saya kira dia tidak lagi berimbang dalam mengerti atau mengikuti kehendak Tuhan, itu bahayanya. Tapi memang Pak Gunawan saya harus akui dalam masa berpacaran kita ini karena terlalu cintanya dan sesuai dengan selera kita, kita cenderung memang memaksakan kehendak dan menciptakan tanda-tanda yang pro keputusan kita. (GS: Rasionalisasi ya Pak) merasionalisasi itulah sifat kita.PG : Saya sangat setuju, kita boleh sekali memperkenalkan anak kita dengan orang yang kita tahu baik dan kita tahu dari keluarga yang baik, seiman dengan kita.
PG : Betul, karena tidak bisa tidak, Pak Gunawan, kita-kita ini yang sudah mulai berumur akan mengakui bahwa latar belakang keluarga berpengaruh pada si anak, kita menyadari hal ini, tapi anak-nak kita belum menyadari hal itu.
Misalkan kalau anak kita ini ingin menikah dengan seorang gadis yang kebetulan gadis itu mempunyai ayah yang menyeleweng dan akhirnya menikah dengan wanita lain. Mungkin si gadis tersebut masih menyimpan trauma ya, ketakutan terhadap suami yang menyeleweng dan karena ayahnya telah pergi meninggalkan keluarganya, dia itu juga rasanya sulit percaya pada pria. Jadi kalau dia dekat dengan seorang pria, dia ingin memastikan pria ini 100% untuknya, karena ketakutannya itu. Nah anak kita kemungkinan tidak mengerti hal-hal ini, dia hanya melihat anak ini baik sesuai dengan seleranya, penampilannya dan kasihan, dia tidak punya papa, papanya dulu mengkhianati keluarganya. Kesulitan kita sebagai orang tua, karena kalau kita menyampaikan hati-hati engkau dengan dia, anak kita bisa menuduh kita itu kejam tidak berperikemanusiaan. Anak yang ditinggal oleh ayah harusnya 'kan dikasihani bukannya malah dijauhkan, tapi anak kita memang belum bisa melihat yang kita lihat, maka penting bagi kita dengan cara yang dialogis tidak memaksakan kehendak, memberikan dia informasi yaitu "Anakku memang dia anak yang baik, dia adalah orang yang mencintai kamu dan kamu mencintai dia, papa dan mama senang dengan dia secara pribadi. Tapi ada hal-hal yang mama atau papa minta engkau perhatikan mulai dari sekarang yaitu dia perlu belajar untuk tidak terlalu posesif misalnya itu." "Kenapa? Dia tidak posesif dengan saya dan sebagainya." "Ya, sekarang mungkin tidak tapi ada kemungkinan dia akan posesif sebab biasanya anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang tidak utuh lagi dan adanya kasus penyelewengan mungkin mempunyai rasa curiga yang lebih besar, sulit percaya pada orang itu masuk akal karena dia pernah terluka. Jadi ketakutan itu terus menghantui dia, jadi engkau juga perlu memperhatikan hal ini, sebab nanti kalau dia terlalu posesif kepadamu, yang susah engkau. Pada masa berpacaran engkau senang karena engkau melihat dia begitu mencintaimu, engkau pulang jam berapa dia tanya, engkau sudah menikah engkau sebel. Setiap kalau engkau pulang jam berapa dia tanya, ini sekarang yang engkau belum bisa lihat tapi aku beritahu engkau, agar engkau mulai perhatikan hal-hal ini." Biarkan dia mulai perhatikan dan biarkan dia gumulkan.PG : Bisa jadi saya rasa juga kesalahan konsep ya Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita 'kan tidak sepasif itu dalam mencari pekerjaan. Kita juga tidak sepasif itu dalam mencari rumah yang cocok. Denga kata lain Tuhan mengharapkan kita ini berfungsi secara normal untuk hal-hal yang rutin, aktifitas-aktifitas yang memang kita harus lakukan, kita lakukan, termasuk aktifitas mencari jodoh.
Kalau rumah kita cari, pekerjaan kita cari, jodoh kita tidak cari saya rasa itu tidak cocok pengertiannya.PG : Betul, bahkan di budaya Barat wanita pun tetap tidak sama dengan pria dalam hubungan berpacaran. Saya suka menggunakan istilah kalau pria mencari jodoh, wanita melihat jodoh. Sebab memang alau wanita mencari-cari dianggap tidak cocok untuk budaya kita, kasihan sih memang.
Tapi wanita harus lebih pasif dalam budaya kita ini, jadi dia menantikan dan dia berdoa, menyanggupi uluran-uluran atau inisiatif-inisiatif dari pria.PG : Saya rasa sih baik ya, tapi saya minta ini juga dalam konteks yang seiman (GS: Prinsip-prinsip tadi harus tetap menjadi acuan yang kuat begitu Pak Paul) betul, jadi jangan sampai kita jug sembarangan mengikuti biro jodoh, kita ikuti yang diadakan gereja kita misalnya itu lebih baik.
PG : Betul, ini memang masalah Pak Gunawan, saya sering ke gereja-gereja dan saya menemukan rata-rata (di setiap gereja) surplus gadis dan kekurangan pria, itu dia masalahnya. Jadi akhirnya banak wanita lajang yang tidak ada jodoh dan karena tidak ada jodoh di gereja mereka mencari jodoh di luar.
Jadi saya rasa demikian tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang perjodohan bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
Ada beberapa faktor yang membuat pernikahan pada masa lalu itu langgeng dibandingkan dengan pernikahan pada zaman sekarang.
Faktor tekanan sosial, jadi pada masa dulu itu lingkup di mana kita tinggal, orang-orang di sekitar kita mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tindakan kita. Jadi kalau lingkup kita itu tidak menyetujui yang kita lakukan kita lebih tertekan untuk melakukannya karena pada umumnya pada masa lampau kita masih hidup dalam sistem komunal atau sistem di mana kita ini cukup terkait dengan orang lain. Sekarang kita ini lebih individual, orang tidak lagi terlalu mengenal siapa yang tinggal di sebelah mereka, akibatnya kita juga tidak terlalu tunduk pada sorotan masyarakat seperti dulu.
Karena kehidupan masa lalu lebih simpel, sekarang hidup jauh lebih komplek dibandingkan dahulu.
Kita perlu menyadari bahwa Alkitab tidak memberikan kita kriteria yang spesifik tentang jodoh kita bahkan kalau kita melihat dengan saksama Alkitab tidak secara langsung menceritakan kisah di mana Tuhan menentukan jodoh orang. Dalam cerita Alkitab hanya satu saja di mana Tuhan turut turun tangan secara langsung dalam menentukan jodoh yaitu pada kisah Ishak, tetapi yang lainnya tidak. Seolah-olah Tuhan memberikan kebebasan kepada anak manusia untuk memilih jodohnya.
Prinsip-prinsip atau kriteria yang Tuhan tentukan tentang pasangan hidup bagi kita:
2Korintus 5 : 17 , "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." Sebagai orang kristen kita harus bersanding dengan orang yang sudah mengalami kelahiran baru.I Korintus 7 : 39 , "Istri terikat selama suaminya hidup, kalau suaminya telah meninggal ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya." Sekali lagi ini ditekankan bahwa Tuhan menghendaki kita menikah dengan sesama orang yang percaya.Kita diberikan kebebasan menikah dengan siapa saja yang kita kehendaki artinya sesuai dengan selera kita.
Prinsip ketiga diambil dari
Kejadian 2 yaitu pilihlah istri atau suami yang juga sepadan dengan kita, yang cocok, yang pas. Ini menyangkut kecocokan sifat dan karakteristik.
Dalam prosesnya kita terus-menerus meminta pimpinan Tuhan sebab di kitab Yakobus mengatakan siapa yang tidak punya hikmat mintalah hikmat kepada Tuhan. Jadi dalam masa berpacaran kita perlu meminta hikmat Tuhan agar bisa melihat dengan jelas, apakah orang ini cocok atau tidak dengan kita meskipun seiman, meskipun sesuai selera kita tapi kalau tidak cocok bukan kehendak Tuhan. Perjodohan memang di tangan Tuhan itu betul, tapi dalam prosesnya Tuhan meminta kita memperhatikan ketiga hal ini.
Usia yang cocok untuk mulai berpacaran adalah usia perguruan tinggi, usia kuliah, jangan di bawah karena di bawah usia perkuliahan sebetulnya masih dalam masa remaja. Dan masa remaja adalah masa pembentukan diri remaja, remaja masih mencari-cari jati diri dan di saat itulah remaja juga bergaul dengan luas sehingga anak remaja mengenal orang-orang juga dengan luas. Setelah mengenal dengan luas barulah akhirnya mereka siap untuk memulai hubungan yang lebih eksklusif yaitu berdua. Jadi waktu memasuki hubungan eksklusif itu mereka merasakan juga siap karena sudah cukup mengenal orang lain.