Menjadi Konselor yang Efektif (2)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T463B
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan
Abstrak: 
Dalam perbincangan Menjadi Konselor Yang Efektif bagian 1 telah dibahas 5 karakteristik diri yang sehat yang perlu dimiliki oleh seorang konselor agar efektif dalam pelayanannya. Berikut akan dibahas 2 karakteristik selanjutnya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Latar Belakang Gejala semakin banyaknya kesadaran orang akan kebutuhan untuk layanan konseling dan semakin banyak orang terjun ke pelayanan konseling.

Pembahasan Seorang konselor seharusnya memunyai Karakteristik Diri yang Sehat yang terdiri atas 7 karakteristik. 5 karakteristik telah dibahas dalam rekaman T 463 A "Menjadi Konselor yang Efektif" Bagian ke-1. Berikut kelanjutannya:

6. Memiliki Keintiman dengan Tuhan. Memiliki relasi yang intim dan dinamis dengan Tuhan, punya kerohanian yang hidup dan terbuka dengan Tuhan. Proses konseling yang optimal adalah segitiga, ada diri konsele yang dilayani, ada pribadi konselor yang mendampingi dan ada pribadi Tuhan yang menjadi asal muasal dari kehidupan ini. Kita akan lebih peka pada pribadi Roh Kudus, kita akan lebih memberi ruang pada aliran Roh Kudus. Lebih efektif karena ada Tuhan sendiri sebagai Konselor Agung.

7. Hidup dalam Pertanggungjawaban. Ada mentor atau pembimbing dan ada juga teman-teman sebaya yang kepadanya kita siap memberi pertanggungjawaban tentang kualitas dan pertumbuhan diri kita, tentang integritas diri kita. Sebagai konselor kita punya komunitas, ada kelompok pendukung. Dibalik konselor yang efektif, ada sekelompok orang yang dengan setia mendoakan dan mendukung, baik dalam suka maupun duka.

Kalau tidak memunyai ke 7 karakteristik, minimal kita memiliki hati yang mau belajar. Untuk menjadi konselor yang efektif sebaiknya melewati proses pembenahan diri. Sebaiknya minimal 4 bulan sampai 1 tahun, itupun perlu ditindaklanjuti secara reguler. Andalan seorang konselor bukanlah hal yang di luar dirinya, sekadar pengetahuan atau pengetahuan Alkitab, andalan adalah dirinya yang sehat.

Konseling itu sendiri bukan sekadar memberi nasihat, sekalipun pemberian nasihat mungkin bisa menjadi salah satu proses konseling. Dalam proses konseling yang optimal, percakapan konseling sudah lebih dahulu menyadari hal-hal yang terjadi dalam dirinya sehingga nasehat mungkin tidak diperlukan lagi. Kita tidak mengambil alih tanggungjawabnya. Konseling yang sehat memberdayakan konsele. Kalau pun konselor perlu memberi nasihat, itu pun disampaikan dalam wujud macam-macam pilihan yang bisa dipilih konsele berikut konsekuensi untuk masing-masing pilihan. Konselelah yang tetap bertanggungjawab memutuskan bagi dirinya dan sekaligus menanggung konsekuensi dari pilihan yang diambilnya.

Ada seni dan tehnik dalam proses konseling yang perlu dipahami dan dikuasai seorang konselor. Jadi tidak serta merta seorang yang telah mengikuti seminar konseling atau satu dua mata kuliah psikologi atau konseling pastoral, bisa menjadikan dirinya mumpuni untuk menjadi konselor yang efektif (dan bertanggung jawab). Hal ini sesungguhnya sejajar dengan keberatan para hamba Tuhan pada umumnya tentang kriteria seorang yang layak untuk naik mimbar dan berkhotbah di hadapan jemaat. Kita pada umumnya berkeberatan, ketika seseorang hanya dengan berbekal sudah pernah membaca beberapa buku rohani dan teologi, mengikuti kursus Alkitab dan sudah pernah membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, kemudian merasa OK untuk naik mimbar. Kita menuntut untuk pelayanan mimbar yang bertanggungjawab, minimal seseorang sudah menyandang gelar akademis S.Th, atau Sarjana Teologi. Dengan asumsi, telah mempelajari berbagai doktrin mendasar lewat mata kuliah-mata kuliah Teologi Sistematik, mengerti bahasa asli Alkitab dan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat lewat mata kuliah Hermeneutik dan Eksegese. Telah pula mempelajari sejarah, latar belakang dan prinsip-prinsip pengajaran tiap kitab dari 66 kitab atau minimal tiap genre Alkitab lewat mata kuliah-mata kuliah Biblika dan Teologi Biblika. Dan juga telah melewati formasi spiritualitas dan karakter lewat kehidupan berasrama dan proses pembimbingan kelompok, sehingga khotbah dan kenyataan hidupnya di bawah mimbar tidak bertolak belakang, melainkan selaras senada seirama.

Sejajar dengan itu, untuk menjadi konselor yang efektif dan bertanggung jawab, seseorang sepatutnya telah mengikuti proses konseling pribadi selama 4 hingga 12 bulan untuk menyehatkan ruang-ruang dirinya. Konselor pun perlu punya pendidikan dan teknik-teknik yang memadai. Telah lulus memahami berbagai mata kuliah psikologi berkenaan perkembangan manusia, abnormalitas atau gangguan jiwa, psikologi sosial, pengukuran dan tes-tes psikologi, teori-teori kepribadian, terapi kelompok, kasus-kasus konseling remaja, terapi anak pada umumnya dan anak berkebutuhan khusus, terapi keluarga, narkoba, homoseksualitas, kode etik konseling. Selain mata kuliah teori, juga telah menjalani praktek latihan atau praktikum sebagai wujud pengasahan pemahaman dan keterampilan. Selain itu, sangat strategis jika telah pula mempelajari sekian mata kuliah dasar teologi, Alkitab dan melewati proses formasi spiritualitas dan karakter lewat pembimbingan kelompok maupun pembimbingan pribadi.

Perlu juga digalakkan konselor-konselor awam, diberi pembekalan, keterampilan dasar dan kode etik secara khusus. Hal ini akan sangat menolong para konselor penuh waktu. Setelah menjadi konselor awam, perhatikan 7 karateristik diri yang sehat, apakah kita bertumbuh dalam 7 wilayah ini secara dinamis.

Firman Tuhan yang mendasari perbincangan ini diambil dari I Korintus 4:1-2, "Demikianlah hendaknya orang memandang kami : sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai".

Kualitas sebagai pelayan Kristus yang Allah tuntut adalah dapat dipercayai, berkompeten, memiliki kualitas diri yang sebanding dengan status sebagai hamba Kristus. Jangan merasa cukup atau menggampangkan pelayanan termasuk pelayanan konseling.