Manajemen Stres 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T579A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.,M.Phil.
Abstrak: 
Stres perlu diterima dengan sukacita, kenali dan terima batas kesanggupan kita memikul stres, beban berat dipecah menjadi kepingan kecil, rayakan setiap sukses kecil, menikmati relasi, hobi dan menjadi berkat yang efektif bagi banyak orang.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

dpo. Ev. Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil.

Kata stres sudah akrab kita ucapkan dalam keseharian. Bahkan anak kecil pun sudah menggunakan kata ini karena menyerap dari orangtua dan orang-orang terdekatnya. Pertanyaan yang muncul, menurut masing-masing kita stres itu positif ataukah negatif? Ya, umumnya kita melihat stres itu negatif. Namun, sesungguhnya stres itu seperti kurva normal atau kurva bel. Garis horizontal atau mendatar adalah tingkat stres. Garis vertikal atau yang menegak adalah tingkat kinerja atau produktivitas. Ketika stres di titik nol, produktivitas kita juga nol. Ketika stres di angka 1, maka produktivitas juga naik di angka 1. Ketika stres di angka 5, maka produktivitas juga naik di angka 5. Sampai optimumnya, misal tingkat stres di angka 20, maka tingkat produktivitas juga di angka paling optimum yakni di angka 20.

Ketika kita diberi tugas yang ringan semasa bersekolah maupun bekerja, justru itu membuat kita produktif karena kita menjadi terkondisi untuk belajar dan lebih menguasai bidang tersebut. Ketika ada tes ujian atau tugas pekerjaan yang lebih berat, kita menjadi makin produktif dan mahir di bidang tersebut.

Jadi ini adalah stres yang baik atau istilahnya EUSTRESS.

Kita membutuhkan stres dalam kadar tertentu untuk bikin hidup lebih hidup, baik lewat studi, bekerja dan beraktivitas di dalam rumah maupun di luar rumah. Hidup kita menjadi produktif, berwarna dan bermakna. Tapi ketika tingkat stres ditambahkan melampaui batas optimum kita, maka tingkat produktivitas kita dari angka 20 jadi menurun menjadi angka 19. Ditambah lagi beban stresnya, tingkat produktivitas makin menurun di angka 15. Ditambah lagi, makin menurun di angka 10, sampai bahkan di titik nol. Inilah yang disebut DISTRES. Stres yang buruk.

Pada tahun 1967, sepasang psikiater Thomas Holmes dan Richard Rahe melakukan penelitian lapangan terhadap lebih dari 5.000 pasien medis. Hasilnya berupa Skala Stres Holmes dan Rahe. Ada sekian jenis peristiwa kehidupan dengan masing-masing memiliki tingkat angka stres. Holmes dan Rahe menyimpulkan:

• Jika total skor stres kurang dari 150, maka hanya memiliki risiko sakit ringan.

• Jika total skor stres 150-299, maka memiliki risiko sakit sedang.

• Dan jika total skor stres 300 ke atas, maka memiliki risiko sakit.

Hal ini bisa menjelaskan mengapa ada gangguan psikosomatis. Psiko dari psike yang artinya jiwa. Soma artinya tubuh. Keluhan dan sakit fisik yg muncul karena jiwa yang tertekan. Dalam buku terjemahan yang berjudul "Emosi yang Mematikan", Dokter Don Colbert menjelaskan sebagian besar kedatangan pertama pasien ke ruang dokter adalah karena emosi yang tertekan. Kalau demikian, betapa pentingnya untuk melakukan Manajemen Stres atau Mengelola Stres agar tidak mengalami terus-menerus stres berlebihan dan distres. Bagaimanakah cara mengubah distres menjadi eustress ?

1.Pecahlah Beban Besar Menjadi Kepingan-Kepingan Kecil

Misal, di pekerjaan kita ditarget atasan dengan tugas yang terasa besar dan berat sekali. Kita dibuat menjadi distres dan dikuasai rasa khawatir jika gagal. Kemudian kita pun tergoda untuk menunda-nunda dan menghindari daripada menghadapi. Di dalam Matius 6:34 Tuhan Yesus menasihati kita semua untuk "janganlah kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari". Betapa perlunya mengkapling-kapling tanggungan kesusahan, beban, masalah, tugas yang kita hadapi dalam sehari. Maka tugas dan masalah yang begitu besar itu, patut kita pecah-pecah menjadi target yang lebih realistik untuk kita perjuangkan sebagai eustress dan distres. Bisa kita tulis di memo kita: hari ini targetnya apa, besok targetnya apa, lusa targetnya apa. Penyelesaian yang kecil-kecil lama kelamaan menjadi bukit penyelesaian. Tuntas dan tercapai.

2.Rayakan Tiap Sukses Kecil

Mungkin kita sudah membuat target-target kecil namun di tengah jalan terhenti dan stagnan. Kita merasa jenuh dan lelah jiwa dari hari ke hari berjuang dari satu target kecil ke target kecil. Amsal 18:14a menuliskan, "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya." Maka di titik inilah perlunya selebrasi atau perayaan untuk sukses-sukses kecil, untuk menginjeksi semangat dalam jiwa kita. Tanpa menunggu sukses besar. Ketika sudah menyelesaikan satu target kecil, kita bisa mengapresiasi diri sendiri. Tiap kita bisa menerjemahkan bentuk target dan hadiah sesuai kesanggupan dan hobi kesukaan masing-masing.

3. Kenali dan Terima Batas Kesanggupan

Sebagaimana pembahasan di awal, masing-masing kita ada batas optimum untuk menanggung beban stres. Kenalilah batas kesanggupan kita masing-masing dan beranilah berkata ‘tidak’ atau menolak untuk beban yang melampaui batas toleransi kita pribadi untuk menanggungnya. Satu kali Stephen Covey datang kepada bawahannya hendak memberikan tugas tambahan. Lalu sang bawahan ini menunjukkan papan target pencapaian kerja harian hingga sekian minggu ke depan. Dan ia berkata, "Pak Covey, menurut Bapak, bagian target mana yg perlu saya hapus dan digantikan dengan tugas tambahan dari Bapak?" Stephen Covey pun membatalkan pemberian tugas tambahan tersebut karena melihat dedikasi dan efektifitas kerja bawahannya untuk pencapaian misi perusahaan. Ini merupakan salah satu bentuk komunikasi asertif sang bawahan untuk mengungkapkan batas kesanggupannya dan berkata tidak atas tugas tambahan.

Dalam rangkaian visitasi Imam Yitro atas menantunya sebagaimana yang dituliskan dalam Kitab Keluaran 18, Musa, Yitro melihat Musa duduk seharian untuk menjadi konselor dan mediator bagi ribuan umat Israel yang bermasalah. Maka Yitro mengingatkan batas kesanggupan Musa dan mendorong Musa untuk melakukan pendelegasian tugas lewat pembentukan gugus tugas para gembala, konselor dan mediator yang disebar di tiap suku Israel. Bersyukur, Musa seorang pemimpin yang "teachable": sedia, setia dan senang diajar dan sepenuh hati menindaklanjuti rekomendasi mertuanya. Maka, Musa pun bisa kembali hidup seimbang, makin efektifnya melaksanakan fungsi kepemimpinannya untuk berfokus pada hal-hal strategis dan ribuan orang Israel juga sama-sama puas karena sekian puluh dan ratus orang diberdayakan dan layanan 24 jam penggembalaan makin mudah diakses.

Dari kisah nyata Stephen Covey dan bawahannya, Musa dan bangsa Israel, kita bisa mendulang hikmat: Bukanlah tindakan yang egois ketika kita mengenali, menerima dan mengkomunikasikan batas kesanggupan kita kepada orang lain. Justru, kita akan makin efektif menjadi berkat bagi orang lain.