Berkata Sebelum Berbuat

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T531B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada berbagai penyebab a.l. menganggap diri pintar atau bijak, kita punya ego yang besar, beranggapan seharusnya orang tahu, kita tidak bisa menguasai letupan emosi. Beberapa masukan untuk mengaplikasikan yang kita pelajari yaitu kita mesti punya konsep yang tepat tentang Tuhan, punya keyakinan bahwa Allah sanggup memakai siapa pun untuk menggenapi rencana-Nya, mesti belajar rendah hati dan lebih bersukacita melihat pertobatan ketimbang penghukuman.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Tuhan Kita Yesus tidak meninggalkan kita sendirian. Selain meninggalkan Roh-Nya yang Kudus, yang memberi kekuatan dan menuntun kita di jalan-Nya yang benar, Ia pun meninggalkan Firman-Nya, yang memberi kita hikmat untuk menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini. Banyak kesusahan timbul karena kurangnya hikmat; itu sebab kita perlu menimba "mutiara" yang Tuhan sudah sediakan untuk kita ini. Hal kedua yang perlu kita pelajari bila kita ingin berhikmat adalah berkata sebelum berbuat. Maksudnya, sebelum kita melakukan sesuatu, kita harus membicarakannya terlebih dahulu. Kita membicarakannya lebih dahulu setidaknya untuk dua tujuan berikut:

  • Mendapatkan MASUKAN YANG LEBIH BANYAK dan lebih lengkap. Kadang kita bertindak tanpa bermusyawarah karena kita pendiam dan tidak suka bicara. Kita memikirkan semuanya sendiri dan jarang sekali bertukar pendapat dengan orang lain. Mungkin saja kita benar dan berpikir jelas, tetapi pada umumnya pendapat yang digodok bersama cenderung menjadi lebih matang dan lebih tepat daripada tidak sama sekali. Amsal 11:14 memberi kita nasihat, "Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada."
  • Memberi PERINGATAN ATAU NASIHAT sebelum mengambil tindakan. Kadang kita langsung menghukum orang atau menjatuhkan sanksi tanpa memberitahukannya terlebih dahulu akan apa yang sebenarnya kita harapkan atau memberikannya kesempatan untuk berubah. Meski orang belum tentu mau berubah, kita tetap mesti memberikannya kesempatan untuk mendengar nasihat atau peringatan kita.

Ada pelbagai penyebab mengapa kita cenderung berbuat sebelum berkata. Berikut adalah empat di antaranya:

  1. Kita MENGANGGAP DIRI PINTAR ATAU BIJAK dan menilai orang lain tidak sepintar atau sebijak kita. Itu sebab, kita enggan berkata atau bermusyawarah dengan orang sebab buat kita itu adalah pemborosan waktu dan tenaga belaka. Amsal 3:7-8 mengingatkan, "Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu."
  2. Kita MEMUNYAI EGO YANG BESAR dan tidak suka mendengar gagasan selain gagasan dari diri sendiri. Jadi, daripada meminta pendapat orang dan mengambil risiko gagasan kita tidak dituruti—atau dinilai salah—kita pun memilih tidak berbicara dengan orang sebelum mengambil keputusan.
  3. Kita beranggapan bahwa SEHARUSNYA ORANG TAHU, jadi, tidak usah lagi diperingatkan. Begitu ia melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati, kita pun langsung memarahinya.
  4. Kita TIDAK BISA MENGUASAI LETUPAN EMOSI, sehingga emosilah yang memegang kendali atas tindakan kita. Kita tidak sabar menunggu; apa yang kita inginkan, harus kita peroleh sekarang juga. Walau otak menyuruh kita sabar dan membicarakannya terlebih dahulu, kita tidak bisa melakukannya.

Berulang-kali Firman Tuhan mengajar kita untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan dan memberi peringatan sebelum memberi sanksi. Bahkan Tuhan pun memerlukan datang untuk bertukar pendapat dengan Abraham sebelum Ia menjatuhkan hukuman atas Sodom dan Gomorah. Hal yang sama dapat kita lihat dalam pelayanan Musa; berkali-kali Tuhan batal menghukum Israel karena desakan Musa. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk mengaplikasikan apa yang telah kita pelajari:

  1. Kita mesti memunyai konsep yang tepat akan Tuhan—bahwa Ia adalah Allah yang besar dan perkasa. Allah berdaulat penuh atas hidup ini—bukan saja hidup kita—jadi, kendati kehendak kita tidak terealisasi gara-gara bermusyawarah, kehendak dan rencana-Nya tetap dapat terealisasi—tanpa melibatkan kita.
  2. Kedua, kita mesti memunyai keyakinan bahwa Allah sanggup membisikkan kehendak dan rencana-Nya kepada orang lain, bukan hanya kita. Mungkin kita lebih cerdas dan lebih berhikmat daripada orang lain, tetapi kita harus mafhum bahwa Tuhan sanggup memakai siapa pun—betapapun bodohnya mereka—untuk menggenapi rencana-Nya.
  3. Kita mesti belajar rendah hati. Acap kali kita enggan bermusyawarah karena kita tidak sudi merendahkan diri dan bertukar pikiran dengan orang yang kita anggap lebih bodoh daripada kita. Sering kali kita berujar bahwa kita tidak sempurna, nah, meminta pendapat dan bertukar pikiran dengan orang, adalah bukti nyata bahwa kita memang menyadari diri tidak sempurna. Amsal 16:18 mengingatkan, "Kecongkakan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan."
  4. Kita mesti lebih bersukacita melihat pertobatan ketimbang penghukuman. Tuhan adalah hakim yang paling adil dan benar, jadi, serahkanlah bagian penghukuman kepada-Nya. Tugas atau bagian kita adalah memberi peringatan. Jadi, seyogianyalah kita bergembira melihat dan mengusahakan pertobatan.