Setangkai Mawar untuk Rekan Kerja

Versi printer-friendly

Oleh: Sdri. Betty Tjipta Sari

"Aku ingin memberi bunga mawar ke dia. Aneh ngga ya?"

Ini ditulis sahabat lama (wanita) saat sedang ‘ chat’ denganku di jam 00.20 WIB atau jam 19.20 waktu di Belanda. Kedengarannya seperti ide ganjil yang muncul di tengah malam, mungkin karena tengah malam memang waktu yang tepat untuk menemukan ide-ide romantis. Memberi bunga mawar kepada kekasih di hari valentine sudah banyak dilakukan orang, tapi memberi bunga mawar kepada rekan kerja yang wanita yang tergolong orang berhati keras bukanlah ide biasa.

Tapi karena aku juga bukan orang yang suka dengan hal-hal biasa, maka responsku adalah, "Ide bagus itu! Kamu bilang ke dia kalau mawar itu dari Tuhan", dan dia menjawab, "Wah, bisa kubayangkan respons dia mengernyit sinis mendengar kata mawar dari Tuhan". Ideku pun makin menjadi-jadi untuk merespons imajinasi dia dan mengatakan, "Justru itu waktu yang tepat untuk mengatakan kepada dia, bahwa mawar itu dari Tuhan karena memang Tuhan yang memerintahkan kamu untuk memberikannya. Mawar itu ‘kan simbol kasih dan memang benar kamu akan sulit memberikannya pada dia, tapi kamu tahu bahwa Tuhan mengasihi dia dan ingin kamu memberikannya".

Gayung pun bersambut, sahabatku itu menyetujuinya dan kami mulai menyusun rencana tentang bagaimana memberikan mawar itu dan bagaimana menyampaikan pesan dalam kartu yang menyertai mawar itu. Setangkai mawar tampaknya bukanlah sesuatu yang istimewa, namun perasaan sahabatku itu terombang-ambing. Mawar adalah simbol kasih dan ketika muncul ide untuk memberikannya serasa ada tarik ulur antara keinginan untuk mengasihi serta mengampuni dan gengsi. Memberikannya atau tidak memberikannya merupakan pengejawantahan memberi kasih atau tidak memberi kasih.

"Aduh, aku jadi merasa bersalah karena selama ini aku ngga bisa jadi terang buat dia. Aku tidak bisa mengekspresikan kasihku kepada dia karena aku sendiri tumbuh dalam keluarga yang sulit mengekspresikan kasih." Kalimat ini meluncur dari sahabatku itu setelah kami menikmati ide tentang memberi mawar itu.

"Well.. kamu tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi alat-Nya, karena DIA sudah sempurna dan akan menyempurnakanmu. Yang Dia inginkan hanyalah seseorang yang bersedia". Entah mengapa kata-kata ini muncul dari hatiku, karena sepertinya aku pun hanya alat Tuhan untuk menulis bagi sahabatku ini dan dia langsung memberi jempol besar buat respons saya.

Aku pun merenungkan kata-kataku sendiri yang tiba-tiba muncul di kepala tanpa tahu datangnya dari mana, tapi segera aku sadar bahwa itu adalah karunia hikmat. Jawabanku buat sahabat tadi adalah jawaban Tuhan buat pergumulanku juga. Beberapa hari yang lalu aku bertanya pada Tuhan tentang bagaimana seandainya temanku yang tidak percaya tidak dapat melihat kasih yang sempurna dalam diriku dan dia kemudian tidak dapat melihat kasih Tuhan (karena 90% lebih mahasiswa di universitas di sini tidak percaya Tuhan). Sekarang aku hidup di negara di mana banyak orang tidak lagi percaya pada kekristenan. Entah mereka yang memilih jadi atheis, agnostik atau memegang agama lain melihat kekristenan sebagai agama yang gagal dan munafik, bicara tentang kasih tapi faktanya banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan kasih. Sejarah memang mempengaruhi pandangan banyak orang di Eropa terhadap kekristenan dan ini membuat aku lebih sulit untuk mengerti bagaimana caranya hidup di antara mereka dan dapat menjadi surat Kristus yang terbaca jelas. Kadang aku merasa, sedikit saja kegagalan untuk mengasihi akan membuat orang menggarisbawahinya sebagai bukti yang mendukung pandangan mereka tentang ‘orang Kristen’.

Aku menemukan jawaban pertanyaanku hari ini, bahwa bukan melalui kesempurnaan kasihku yang membuat mereka melihat Tuhan, namun karena Tuhan sendiri yang akan membuat mata mereka melihat kasih-Nya. Bagianku adalah menyerahkan diri, menyediakan diri untuk melakukan yang terbaik bagi Dia, bergantung kepada Dia dalam segala perkara karena aku tahu bahwa aku lemah dan terbatas.

Menemukan jawaban ini membuatku tersenyum mengingat ketika tadi siang saat berbincang dengan teman dari Etiopia yang juga seorang Kristen, aku menyadari bahwa akulah yang ternyata memulai persahabatan kami yang baru saja dimulai. Aku juga ingat bahwa teman-teman serumahku juga sangat menikmati cerita-ceritaku tentang bagaimana Tuhan menjawab doa-doaku, hal yang sangat tidak biasa mereka dengar di Belanda meskipun mereka juga Kristen. Aku ingat bahwa aku juga berusaha menjalin persahabatan dengan beberapa rekan yang tidak percaya Tuhan dengan hal-hal kecil seperti saling meminjamkan buku atau saling memberi informasi kuliah. Hal-hal kecil itu ternyata berarti di mata Tuhan dan kalau pun aku merasa gagal melakukan bagianku untuk menunjukkan kasih kepada orang lain, kasih Tuhan tidak akan pernah gagal untuk menyentuh mereka jika Tuhan memang ingin melakukannya.

Memberikan setangkai mawar sama dengan memberikan surat cinta Kristus yang agung kepada seseorang yang lama merindukan untuk merasakan kasih Kristus itu. Sahabatku itu dan aku sendiri mungkin pernah gagal menunjukkan kasih, tapi ‘proyek mawar’ ini bukanlah proyek kami, tapi proyek Kristus dan bagian kami adalah taat menjadi alat untuk menyampaikannya.

"...............lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Kor. 10:31b)