The Hiding Place; Tempat Persembunyian di Kala Derita yang Tak Terbayangkan

Versi printer-friendly

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca buku yang mengisahkan sebuah perjalanan hidup seorang wanita luar biasa yang bernama Corrie Ten Boom (The Hiding Place. 1974. New York: Bantam Book). Bab demi bab buku ini membuat saya begitu terpaku dan tidak dapat berhenti untuk membaca kisahnya. Buku saya habiskan dalam waktu 2 hari.

Bab 1-3 mengisahkan sebuah potret keluarga Ten Boom, keluarga yang menjalankan bisnis toko jam, yang memang memiliki hati dan karunia melayani. Setiap hari ada saja orang yang datang ke rumah mereka. Polisi dan tukang pos yang sekedar mampir untuk minum kopi panas dan menghangatkan badan, anak-anak yatim piatu yang kemudian menghuni kamar-kamar kosong rumah itu, sup dan makanan yang dibagikan kepada orang-orang di jalan. Mereka juga terbiasa untuk berbagi tugas dan saling melayani, terbiasa membaca Alkitab setiap hari dan memiliki ayah yang begitu mencintai Tuhan, bersikap positif dan bersyukur dalam segala macam situasi. Bahkan dapat melihat pesaing bisnis mereka sebagai kolega atau rekan kerja, mengasihi setiap orang sebagai makhluk Tuhan, siapa pun mereka.

Bab 4 mengisahkan kisah cinta Corrie dengan Karel yang berakhir dengan patah hati, karena Karel menikah dengan gadis lain. Beberapa bagian yang menarik ketika Corrie patah hati adalah ketika ayahnya berbicara kepadanya: “Corrie…do you know what hurts so very much? It’s love. Love is the strongest force in the world, and when it is blocked that means pain. There are two things we can do when this happens. We can kill the love so that it stops hurting. But then of course part of us dies, too. Or, Corrie, we can ask God to open another route for that love to travel. God loves Karel – even more than you do – and if you ask Him, He will give you His love for this man, a love nothing can prevent, nothing destroy. Whenever we cannot love in the old, human way, Corrie, God can give us the perfect way.” Dan Corrie mengakui : “I was still in kindergarten in these matters of love. My task just then was to give up my feeling for Karel without giving up the joy and wonder that had grown with it. And so, that very hour, lying there on my bed, I whispered the enormous prayer: “Lord, I give to You I feel about Karel, my thought about our future – oh, You know! Everything! Give me Your way of seeing Karel instead. Help me to love him that way. That much.” Dari teladan ini saya belajar, bahwa salah satu cara untuk menghadapi luka karena orang yang kita cintai adalah mengijinkan diri kita tetap mencintai orang itu dengan cinta Tuhan; kasih anugerah tanpa syarat.

Ada beberapa kisah yang menarik hati saya dari kisah hidup Corrie Ten Boom. Yang pertama adalah saat seluruh keluarga Ten Boom ditangkap (ayahnya, Willem, Betsie, Nollie, Corrie dan anak Nollie yang bernama Peter). Ayah Corrie waktu itu berumur lebih dari 80 tahun. Setelah ditangkap, petugas akan melepaskannya dengan syarat tidak mengulangi lagi perbuatannya menolong orang Yahudi, namun sang ayah menjawab, “If I stay behind, I will open my door to anyone who knocks for help”. Dia akhirnya tetap ditahan karena jawabannya itu dan dia hanya bertahan 10 hari dalam penjara lalu meninggal. Kasihnya pada Tuhan dan sesama lebih kuat dari ancaman penjara dan kematian. Waktu sedih mendengar berita kematian ayahnya melalui surat, Corrie memanggil penjaga yang lewat untuk menangis, tapi ditanggapi dengan dingin dan sikap tidak peduli. Corrie berkata dalam hati, “Dear Jesus, how foolish of me to have called for human help when You are here. To think that he and Mama together again, walking those bright streets…” Corrie menulis di dinding penjara di bawah kalender yang dia buat; March 9, 1944. Father. Released. Keyakinan bahwa ayahnya telah mengalami kebebasan dan aman di tangan Tuhan, membuatnya melewati kedukaan dengan baik.

Peristiwa lain yang menarik adalah saat diinterogasi oleh seorang letnan, Corrien berani mengatakan tentang kasih Tuhan Yesus kepada manusia dan bahwa semua manusia berharga di mata-Nya, siapa pun itu. Dia berbicara kepada seorang Jerman yang tidak percaya Alkitab, terutama PL dan bersikap rasial. Apa pun kondisinya, Corrie selalu siap untuk menjadi saksi Kristus.

Ada satu kisah yang mengharukan pada saat berada di camp di Vught. Betsie dan Corrie dapat menyelundupkan Alkitab dan melakukan pelayanan di barak mereka. Mereka membuat persekutuan diam-diam dan membacakan Alkitab setiap hari, bahkan membagikan kasih Tuhan setiap kali ada kesempatan kepada tahanan lain, termasuk kepada mereka yang belum percaya pada Kristus. Mereka menghibur yang hatinya sedih, membagikan yang mereka miliki kepada yang lain. Setiap hari ada kesedihan di camp itu, tapi mereka membagikan sumber penghiburan bagi teman-temannya. Bahkan Betsie dapat mengasihi orang-orang yang menganiaya mereka dan percaya bahwa jika mereka dapat diajari untuk membenci orang demikian rupa, mereka juga dapat diajar untuk mengasihi.

Sebelum mereka dipindahkan ke Ravensbruck di Jerman (sebuah camp yang bahkan lebih mengerikan), ada sekitar 700an pria dalam camp dibunuh sebelum mereka dipindahkan. Camp Ravensburg adalah camp yang dipenuhi teror dan keterbatasan yang sangat luar biasa, banyak tahanan yang tertekan dipenuhi kemarahan sehingga makian ketika mereka merasa terganggu oleh temannya, dan suasana menegangkan terasa pada waktu mereka hadir. Tapi di camp ini mereka belajar paling banyak tentang kasih karunia Tuhan. Tuhan menolong mereka dapat menyelundupkan Alkitab, vitamin dan sweater melalui sebuah mujizat. Semua wanita harus berjalan telanjang menghadapi pemeriksaan sebelum masuk dalam camp dan mendapat seragam tahanan, sehingga tidak mungkin membawa apa pun ke dalamnya. Tapi Tuhan selalu punya cara yang kreatif. Alkitab, sweater dan vitamin dapat masuk tanpa pemeriksaan karena Betsie yang sakit dan Corrie mendapat alasan untuk masuk ke kamar mandi dan masuk tanpa pemeriksaan.

Setelah berada di dalam camp yang mengerikan, Corrie berseru kepada kakaknya, “Betsie, bagaimana mungkin kita dapat bertahan hidup di tempat seperti ini!” tapi Corrie baru sadar kalau Betsie berdoa, dan kemudian berkata, “Corrie, Dia memberikan jawaban! Sebelum kita bertanya, Dia sudah menjawab seperti biasanya. Dari firman yang kita baca tadi pagi. Dari ayat apa itu? Bacalah kembali!”

Ayat yang mereka baca adalah 1 Tesalonika ; “Comfort the frightened, help the weak, be patient with everyone. See that none of you repays evil for evil, but always seek to do good to one another and to all… Rejoice always, pray constantly, give thanks in all circumstances; for this is the will of God in Christ Jesus…” dan Betsie berseru bahwa itulah jawaban tentang bagaimana caranya tinggal di tempat itu, yaitu “Bersyukur dalam segala keadaan”. Lalu mereka mulai dapat berterima kasih bahwa mereka tidak dipisahkan dan tetap bersama, bersyukur bahwa tidak ada pemeriksaan sehingga mereka dapat membawa Alkitab ke dalam sehingga banyak orang dapat bertemu Tuhan melalui Firman-Nya, bersyukur karena terlalu banyak orang di barak itu mendengar berita gembira dari Firman Tuhan, bahkan untuk penderitaan mereka.

Dalam ruangan yang dipenuhi wanita yang kelelahan, bau, kotor, dan tidur dengan berdesak-desakan, mereka mulai mendengar banyak tangisan, tamparan, keluhan. Dalam gelap Betsie memegang tangan Corrie dan berdoa, “Tuhan Yesus, kirimkan damai sejahtera-Mu dalam ruangan ini”. Dan ternyata sedikit demi sedikit suasana berubah.

Di Barak no 28, di mana mereka ada, di malam hari mereka mulai membuat persekutuan. Mereka bernyanyi dan membaca firman Tuhan. Tak ada perbedaan denominasi di sini. Nyanyian gereja Katolik Roma, Lutheran, Ortodoks Timur, dsb dinyanyikan. Ketika mereka membaca firman dalam bahasa Belanda, mereka juga menterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, lalu secara berantai ada orang yang menterjemahkan dalam bahasa Perancis, Rusia, Polandia, dan Czech. Makin lama, makin banyak yang bergabung.

Ada juga mujizat lain yang terjadi dalam pelayanan mereka. Vitamin yang mereka selundupkan hanyalah satu botol kecil. Tapi selalu ada vitamin yang dapat keluar dari botol itu setiap hari, dan rasanya botol itu tidak mungkin memuat ratusan pil. Rasanya vitamin tidak pernah habis dibagikan kepada mereka yang kondisi tubuhnya lemah. Sampai suatu ketika mereka mendapat cara mendapatkan vitamin dari teman mereka yang bekerja di bagian rumah sakit. Begitu ada sumber vitamin yang lain, botol itu tidak lagi mengeluarkan pil. Pada saat Betsie sakit dan kondisinya makin melemah di usianya yang tidak muda lagi, dia dipekerjakan untuk membuat kaus kaki bersama wanita-wanita lain yang sakit dan paling lemah. Dia begitu gembira, sesuatu yang tidak dapat dimengerti orang lain, karena tempat itu dikenal sebagai tempat terakhir sebelum kematian. Sumber sukacitanya adalahkemampuan dia untuk melihat tempat itu sebagai kesempatan untuk menolong orang bertemu Tuhan, menolong orang-orang yang mendekati ajal, dan tempat di mana ada keleluasaan luas untuk membagikan Injil karena tidak ada petugas yang mengawasi ruangan itu, karena ruangan itu dipenuhi lalat!! Tuhan bahkan memberi mereka cara untuk bersama-sama melayani di ruangan itu.

Saat kondisi Betsie makin memburuk dan sakit, dia mendapat beberapa visi, bahwa mereka akan dibebaskan di awal tahun 1945, bahwa para tahanan itu akan dapat berkebun ada di ruangan yang indah dengan banyak patung, dan ketiga bahwa tempat itu akan dicat dan menjadi tempat yang lebih baik. Setelah Betsie meninggal, Corrie dibebaskan 2 hari setelahnya di tahun baru 1945. Dan setelah pulang ke Belanda, ada seorang yang bertanya padanya apakah berkebun dapat menjadi terapi bagi para eks-tahanan, di tempat seperti yang menjadi visi Betsie, dan Corrie mendapat kesempatan melayani dan merekonstruksi camp untuk tempat tinggal mereka yang kehilangan rumahnya, mencat ruangan, dsb seperti yang menjadi visi Betsie.

Setelah melayani di Jerman, Corrie tahu bahwa pembebasannya adalah karena kesalahan administrasi. Seminggu setelah dia bebas, teman-teman tahanan yang seusia dia semua dimasukkan ke dalam kamar gas. Dia selalu ingat kata Betsie, “There is no ‘if’ in God’s kingdom”. Corrie ingat pesan terakhir Betsie sebelum meninggal, “…must tell people what we have learned here. We must tell them there is no pit so deep that He is not deeper still. They will listen to us, Corrie, because we have been here.” … “Now. Right away. Oh, very soon! By the first of the year, Corrie, we will be out of prison.”

Selama hidupnya setalah itu, Corrie terus membagikan kebenaran yang mereka pelajari dalam penjara Ravensbruck: Yesus merubah keterhilangan dan penderitaan menjadi kemuliaan dan kemenangan iman. Corrie juga mengatakan bahwa godaan terbesar saat tekanan semakin besar dalam camp, misalnya saat musim dingin dan penjaga makin kejam adalah godaan untuk mementingkan diri sendiri dan enggan peduli kepada yang lain (selfishness). Tuhan telah menjadi tempat persembunyian mereka, Firman Tuhan menjadi pelindung, dan mengarahkan hati untuk melayani orang lain dan melakukan kehendak Tuhan instead of selfishness menjadi benteng pertahanan.

Comments