Dua Tiang Rumah Tangga

Versi printer-friendly

Larry King baru berusia 15 namun telah banyak yang dialaminya. Ibunya adalah pecandu narkoba dan ayahnya tidak pernah hadir dalam kehidupannya. Pada usia dua, akhirnya ia diadopsi oleh sebuah keluarga namun masalahnya berlanjut. Ia harus mengulang kelas 1 oleh karena masalah membaca dan bicara. Di rumah ia sering menusuk-nusuk dinding di kamarnya dengan obeng dan tidak jarang sewaktu diajak berbelanja di toko, ia mencuri.

Pada usia 10 Larry memberitahukan teman-temannya bahwa ia seorang homoseksual-informasi yang membuatnya menjadi sasaran cemoohan. Namun Larry bergeming dan malah makin agresif. Ia mulai ke sekolah memakai lipstick dan eye-liner, bahkan kadang ia berpakaian wanita dan meminta orang memanggilnya, Leticia, nama perempuan. Bukannya takut terhadap ejekan teman, ia malah makin berani mengeluarkan kata-kata menyudutkan teman prianya.

Larry mulai menyukai seorang teman prianya yang bernama, Brandon McInerney, usia 14. Ia lalu menyebarkan cerita bahwa sesungguhnya Brandon dan dirinya pernah terlibat relasi asmara namun sekarang sudah putus. Ia juga pernah mengancam Brandon untuk bersikap lebih manis kepadanya sebab bila tidak, ia tidak akan segan-segan membeberkan relasi asmaranya-cerita yang tidak pernah terbukti.

Dua hari sebelum hari kasih Valentine, Larry memutuskan untuk meminta Brandon untuk menjadi kencannya dan ia melakukan hal itu ketika Brandon tengah bermain bola basket dengan teman-temannya di sekolah. Sudah tentu perbuatannya itu memancing ledekan teman terhadap Brandon-sesuatu yang tidak disukainya.

Pada hari Valentine, Larry masuk kelas dan mulai mengetik makalahnya di depan meja komputer. Brandon pun masuk dan memilih duduk di belakangnya. Untuk sejenak Brandon tampak bingung-sebentar ia menunduk membaca bukunya kemudian menatap Larry dari belakang. Ia terus melakukan itu sampai kira-kira pukul 8:30 pagi. Tiba-tiba Brandon bangkit, mengeluarkan pistol, dan menembakkannya dua kali ke kepala Larry. Ia melemparkan pistol itu ke lantai, kemudian dengan tenang berjalan keluar pintu kelas. Larry King meninggal dunia dua hari kemudian.

Peristiwa tragis ini terjadi pada 12 Februari, 2008 di sebuah SMP bernama E.O. Green Junior High, di kota Oxnard, di pinggir Los Angeles. Pertanyaan yang tentu muncul adalah, apakah gerangan yang membuat Brandon tega melakukan pembunuhan hanya oleh karena merasa dipermalukan oleh teman sekelasnya? Untuk memahami perbuatannya kita mesti mengetahui latar belakangnya. Brandon dibesarkan oleh orangtua yang bercerai. Jauh sebelum ia lahir, orangtuanya sering berkelahi. Dalam suatu perkelahian, ayahnya bahkan sempat menembak lengan ibunya setelah sebelumnya menodongkan pistol itu ke arah kepala ibunya. Dalam perkelahian yang lain, ayahnya menjambak rambut ibunya dan mencekik lehernya yang membuatnya hampir semaput.

Akhirnya mereka berpisah dan Brandon pun ikut dengan ibunya. Namun itu tidak lama karena berikutnya ia pindah tinggal dengan ayahnya berhubung ibunya menjalani program rehabilitasi kecanduan narkoba. Ayah Brandon bekerja jauh dari rumah sehingga hampir setiap hari Brandon ditinggalkan di rumah seorang diri. Brandon pun mulai bergaul dengan teman-temannya yang bermasalah.

Itulah potret Brandon yang kelam-sama kelamnya dengan potret Larry.

Membaca semua ini di Majalah Newsweek (28 Juli 2008) saya tertegun. Sekali lagi saya diingatkan betapa pentingnya peran keluarga dalam perkembangan jiwa seorang manusia. Larry dan Brandon hanyalah serpihan ledakan yang ditimbulkan oleh orangtuanya. Kendati mereka mempunyai pilihan untuk menjadi manusia yang berbeda, namun kekuatan untuk memilih jalan hidup yang berbeda sangatlah lemah. Orangtua telah menguras hampir semua kekuatan mereka untuk memilih jalan yang berbeda.

Kita harus menjaga pernikahan-bukan saja kekudusannya, tetapi juga kerukunannya. Keduanya sama penting dan mesti ada di dalam pernikahan. Apa gunanya kekudusan tanpa kerukunan dan apa gunanya kerukunan tanpa kekudusan? Kekudusan tanpa kerukunan berpotensi besar menciptakan kemunafikan yang pada akhirnya membuat anak-anak menjauh dari iman yang melahirkan kekudusan. Kerukunan tanpa kekudusan hampir mustahil terjadi namun kalaupun ada, berpotensi membangkitkan generasi anak yang bermoralitas relatif-tanpa standar dan tanpa batas.

Tidak heran di dalam pasal yang sama, Rasul Petrus menempatkan keduanya sejajar, "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu sebab Aku kudus"
(1 Petrus 1:14-16). Kemudian Petrus melanjutkan, "Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu saling bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu"
(1 Petrus 1:22).

Kekudusan dan kerukunan adalah dua tiang yang menyanggah rumah tangga. Tanpa salah satu di antaranya pernikahan runtuh, menimpa anak-anak yang bernaung di bawah atapnya.