Prinsip Tabur-Tuai Dalam Membesarkan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T534A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada banyak hal yang akan diserap oleh anak lewat relasinya dengan kita, orang tuanya. Apa yang kita tabur, itu yang akan kita tuai. Kadang kita beranggapan bahwa anak akan mengembangkan karakter lewat pengalaman hidupnya. Sudah tentu pengalaman hidup akan menempa dan membentuk karakter tapi sebelum pengalaman hidup menjadi guru bagi anak, didikan kitalah yang membentuk karakter anak. Jika kita terus mengingatkan anak akan yang baik dan benar serta menyenangkan hati Tuhan, pada masa dewasa ia akan mengingat didikan kita.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Membesarkan anak mengharuskan kita untuk hidup bersama dengan anak. Kita tidak dapat membesarkan anak dari jarak jauh. Di dalam hidup bersama dengan anak inilah terjalin RELASI yang akan memengaruhi anak secara signifikan. Kendati tidak selalu kasat mata, sesungguhnya ada banyak hal yang akan diserap oleh anak lewat relasinya dengan kita, orang tuanya. Dapat kita katakan, apa yang kita tabur akan kita tuai. Itu sebab kita mesti memerhatikan baik-baik benih apakah yang kita tabur pada diri anak sebab pada akhirnya, bagaimana nantinya mereka memperlakukan kita dipengaruhi oleh perlakuan kita kepadanya.

  1. TABUR ASUH, TUAI ASUH.
    Jika kita mengasuh anak dengan penuh tanggung jawab pada masa pertumbuhannya—mencukupi kebutuhan-kebutuhannya—maka anak, setelah dewasa, akan mengasuh kita pada masa tua kita. Mereka akan memikirkan apa yang baik dan penting bagi kita dan berusaha untuk menyediakannya buat kita. Sebaliknya, jika kita melalaikan tanggung jawab dan tidak mengasuh anak pada masa kecil, maka setelah dewasa mereka pun tidak begitu memperhatikan kebutuhan kita.
  2. TABUR PENERIMAAN, TUAI PENERIMAAN.
    Bila kita menerima anak tanpa syarat alias apa adanya dan tidak menuntut yang berlebihan pada anak, maka pada masa dewasa anak pun lebih dapat menerima kita apa adanya. Sebaliknya, jika kita tidak menerima anak apa adanya dan menuntutnya secara berlebihan, setelah dewasa anak pun tidak menerima kita apa adanya. Ia akan menuntut kita untuk menjadi orang tua yang lebih baik dan tidak mudah menerima ketidaksempurnaan kita.
  3. TABUR PENGHARGAAN, TUAI PENGHARGAAN.
    Apabila kita menghargai anak pada masa ia kecil, setelah anak besar, ia pun akan menghargai kita. Jika kita menyoroti hal positif pada diri anak sewaktu ia kecil, maka setelah dewasa, ia pun cenderung menyoroti hal positif pada diri kita. Sebaliknya, jika kita sering mencela dan mengungkapkan ketidakpuasan kepadanya, maka ia pun cenderung mencela dan mengungkapkan ketidakpuasaannya kepada kita setelah kita tua.
  4. TABUR SYUKUR, TUAI SYUKUR.
    Jika kita menekankan sikap bersyukur kepada Tuhan, maka anak pun akan bertumbuh dengan sikap bersyukur pula. Sebaliknya, bila kita kerap mengeluh dan memfokuskan pada apa yang tidak kita miliki, maka anak pun cenderung mengembangkan sikap serupa—sering mengeluh dan tidak bersyukur. Bukan saja terhadap Tuhan dan hidup, tetapi juga terhadap kita, orangtuanya. Bukannya bersyukur, ia malah terus menyalahkan kita atas segala kemalangan yang dideritanya. Sebaliknya, jika kita menekankan sikap bersyukur, ia pun cenderung berterima kasih kepada kita.
  5. TABUR BERKORBAN, TUAI BERKORBAN.
    Apabila kita tanpa ragu berkorban buat anak semasa kecilnya, setelah dewasa, anak pun cenderung rela berkorban untuk kita. Sebaliknya, jika kita berhitungan dengan anak, maka setelah dewasa, anak pun cenderung berhitungan dengan kita. Dalam relasi seperti ini, segalanya dihitung seperti transaksi dagang. Tidak ada yang gratis, semua harus dibayar kembali. Jika kita memperlakukan anak seperti ini pada masa kecilnya, setelah dewasa, ia pun akan memperlakukan kita sama. Kebaikan yang diterimanya dari kita dipandangnya sebagai utang yang mesti dibayar, sebab itulah yang kita lakukan terhadapnya dulu.
  6. TABUR MENDOAKAN, TUAI DIDOAKAN.
    Jika kita terus mendoakan anak pada masa pertumbuhannya, maka setelah tua, kita akan terus didoakan oleh anak. Sebaliknya, jika kita tidak memusingkan kerohanian anak—alih-alih mendoakannya—maka pada masa dewasa anak pun tidak berpikir untuk mendoakan kita. Singkat kata, rumah yang tidak mementingkan kerohanian cenderung melahirkan anak yang tidak rohani pula.
  7. TABUR DIDIKAN YANG BAIK, TUAI KARAKTER YANG BAIK.
    Amsal 22:6 menasihati kita, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Kadang kita beranggapan bahwa anak akan mengembangkan karakter lewat pengalaman hidupnya. Sudah tentu pengalaman hidup akan menempa dan membentuk karakter, tetapi sebelum pengalaman hidup menjadi guru bagi anak, didikan kitalah yang membentuk karakter anak. Jika kita terus mengingatkan anak akan yang baik dan benar dan menyenangkan hati Tuhan, maka pada masa dewasa anak akan terus mengingat didikan kita. Dari didikan inilah terbentuk karakter yang baik.