Pasangan yang Menuntut Tinggi

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T523B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tuntutan yang dimaksud berkisar pada dua hal yaitu WAKTU dan UANG. Orang yang santai dan mengadakan rekreasi dianggap malas dan tidak bertanggungjawab. Jalan terbaik adalah berkompromi, kita berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutannya tetapi sebaliknya kita pun memintanya untuk pergi bersama untuk santai dan menikmati hidup. Hal ini bukan lewat perkataan tetapi pengalaman langsung. Tuhan menginginkan kita hidup jujur dan rajin, tetapi Ia pun menghendaki kita menikmati hidup ini.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Keempat adalah pasangan yang menuntut tinggi. Banyak masalah timbul dalam pernikahan karena adanya pihak yang memunyai tuntutan yang tinggi. Ada pelbagai tuntutan namun pada umumnya tuntutan berkisar pada dua hal yakni WAKTU dan UANG. Dalam hal waktu, temanya selalu sama yakni agar kita tidak menyia-nyiakan waktu dan bahwa kita harus MENGGUNAKAN WAKTU SEBAIK-BAIKNYA. Singkat kata, ia tidak suka melihat kita santai; ia lebih suka melihat kita melakukan apa pun, guna menghasilkan sesuatu yang berfaedah. Pasangan yang menuntut tinggi pada umumnya dibesarkan di dalam keluarga yang menekankan disiplin dan kerja keras. Istirahat hanya seperlunya; rekreasi atau waktu santai tidak ada, bukan saja karena dianggap tidak perlu, tetapi juga, tidak baik. Orang yang santai atau berekreasi dicap malas dan tidak bertanggung jawab. Nah, setelah dewasa ia pun menyerap nilai ini dan menerapkannya di dalam pernikahan. Sudah tentu jika kita tidak memunyai nilai yang sama, kita akan tertekan dan letih. Kita tidak boleh terlihat rileks dan harus selalu melakukan sesuatu, baik itu membersihkan atau membetulkan sesuatu yang rusak di rumah, ataupun mengerjakan tugas. Bahkan jika tugas sudah selesai sekalipun, kita tetap diharapkan untuk melakukan sesuatu untuk mempersiapkan diri atau menambah pengetahuan. Singkatnya, kita diharuskan untuk terus memajukan diri. Rileks atau rekreasi dianggap puas diri dan itu tidak baik.

Sebagai reaksi terhadap tuntutan ini, jika tidak sanggup, biasanya kita bersembunyi sewaktu kita ingin santai dan menikmati hidup. Kita tidak berani memberitahukannya sebab kita tahu, pasangan tidak akan menerimanya. Kita pun tidak mau santai di hadapannya karena pastilah ia akan mencela kemudian menyuruh kita melakukan sesuatu. Karena tidak ada jalan lain, kita pun mulai berbohong. Kita membuat alasan untuk memberi kesempatan kepada diri untuk rileks. Akhirnya dimulailah siklus berbohong. Masalahnya dengan berbohong adalah, suatu hari kita pasti tertangkap basah. Nah, jika itu yang terjadi, bukan saja itu membuat pasangan marah, itu pun membuatnya kehilangan kepercayaan kepada kita. Segala perkataan dan perbuatan kita ditilik lewat lensa bohong; jika ada informasi yang tidak cocok, kita langsung dituduh berbohong. Oleh karena kita tidak sanggup hidup seperti yang dituntutnya, kita terpaksa berbohong lagi dan bila ini diketahuinya, maka makin hilanglah KEPERCAYAANNYA pada kita.

Selain dari kepercayaan, hal yang lain acap kali terhilang adalah RESPEK. Pasangan yang menuntut tinggi mempunyai standar yang tinggi; itu berarti jika kita tidak berhasil hidup sesuai dengan tuntutannya, maka kita pun tidak layak menerima penghargaannya. Makin hari, makin sukar ia menghormati kita. Dan, begitu respek pudar, kualitas relasi pun terus merosot. Makin hari, makin tidak berarti kita di hadapannya.

Selain dari waktu, hal lain yang sering kali menjadi bahan tuntutan adalah UANG. Pasangan yang menuntut tinggi pada umumnya berharap agar kita terus menanjak dalam karier supaya kita dapat menghasilkan lebih banyak uang. Memang tidak selalu tuntutan itu berujung pada pembelian barang mewah. Tidak. Sering kali alasannya adalah untuk kebaikan bersama, misalkan membeli rumah atau menyekolahkan anak di sekolah yang lebih baik—dan mahal. Namun, pada intinya ia tidak mudah puas. Ia terus melihat hidup sebagai suatu perjuangan yang harus dimenangkan dengan cara meningkatkan taraf kehidupan. Memang ia tidak hanya menuntut kita, ia pun berusaha keras untuk meningkatkan taraf kehidupan. Tetapi, masalahnya adalah upaya peningkatan taraf kehidupan ini tidak pernah berhenti. Selalu ada target baru karena selalu ada kebutuhan baru.

Tidak bisa tidak, kita akan lelah karena merasa terus dilecut untuk lari lebih cepat dan untuk menghasilkan uang lebih banyak. Pada akhirnya kita merasa bahwa pasangan menghargai kita hanya berdasarkan pencapaian dan uang yang kita bawa pulang. Kita tidak berharga di matanya bila kita tidak membawa uang lebih banyak dan menduduki jabatan yang lebih tinggi. Sebagai reaksi, kita marah karena sadar, ternyata kita tidak berharga di matanya. Kita marah karena merasa hanya dihargai bila kita masih berguna. Begitu berhenti berguna, berhenti pulalah kasih dan penghargaan. Habis manis, sepah dibuang. Relasi pun memburuk. Mungkin kita menolak permintaannya dan tidak lagi mempedulikan tuntutannya. Mungkin kita sengaja hidup santai walau tahu itu akan memancing kemarahannya. Tetapi, pada titik ini kita tidak lagi mengindahkan tuntutannya. Sudah tentu sikap kita ini membuatnya marah; dalam kemarahan ia pun melontarkan perkataan yang merendahkan kita. Namun, kita bergeming. Kita menunjukkan kepadanya bahwa inilah kita; silakan terima apa adanya. Jika tidak terselesaikan pastilah kondisi ini bertambah parah dan makin merenggangkan hubungan kita.

Apakah yang mesti dilakukan? Jalan terbaik adalah BERKOMPROMI. Kita berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutannya tetapi sebaliknya, kita pun memintanya untuk memenuhi tuntutan kita pula, yakni pergi bersama untuk santai dan menikmati hidup. Singkat kata, perlahan tetapi pasti, kita mengajarnya untuk hidup berimbang. Kita tidak dapat mengajar hal ini lewat perkataan; kita hanya bisa mengajar lewat pengalaman langsung. Ia mesti diajak keluar dan rileks. Mungkin sekali tidak, tetapi setelah berkali-kali, ia pun mulai bisa menikmati suasana santai dan nyaman. Jika ia mulai bisa menikmati suasana santai, barulah ia dapat mengerti bahwa selama ini ia telah hidup tidak berimbang.

Amsal 30:8 mengingatkan kita untuk hidup berimbang, "Jauhkanlah daripadaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku." Tuhan menginginkan kita hidup jujur dan rajin, tetapi Ia pun menghendaki kita menikmati hidup ini. Tidak salah—dan bahkan baik—kita menikmatinya.