Menikah Hanya Untuk Orang Dewasa

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T549B
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K
Abstrak: 
Pengertian dewasa merupakan seseorang yang utuh dengan dirinya sendiri secara mental dan emosional, bisa mandiri dan mengelola diri sendiri secara sehat. Sehingga pernikahan menjadi sarana untuk saling memberi sumbangsih yang positif, bukan untuk membuat diri sendiri menjadi utuh.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
dpo. Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.

Pada umumnya orang mudah setuju dengan pernyataan bahwa menikah hanya untuk orang dewasa. UU Pernikahan pun telah menetapkan batas usia minimal pria wanita untuk bisa menikah.

Namun yang dimaksudkan di sini adalah dewasa jiwani bukan sebatas dewasa badani. Bukan dewasa lahiriah berdasarkan tahun kelahiran, melainkan dewasa mental berdasarkan kematangan jiwani. Penikahan hanya untuk orang-orang dewasa jiwani, yakni orang-orang yang memiliki keutuhan, kemandirian dan sanggup mengelola dirinya. Pernikahan adalah untuk saling memberi sumbangsih dan bukan untuk saling membuat utuh. "Kami saling mengimbangi satu sama lain." Satunya pandai berdagang dan satunya pandai dalam soal pembukuan. Tetapi menjadi hal buruk, jika itu artinya saya hanya bisa berdagang kalau ada yang mengawasi. Tanpa pengawasannya, saya akan teledor. Atau, sang pria kekanak-kanakan dan membutuhkan pasangan wanita yang menjadi "ibu" bagi dirinya.

Pernikahan adalah kesatuan dari dua orang yang cukup utuh dan cukup dewasa. Bukan untuk saling mengutuhkan. Pernikahan adalah untuk saling memberi sumbangsih, saling menyumbang berbagai bakat, kemampuan, sudut pandang, pengalaman dan membentuk kemitraan (partnership). Dan bukannya ketidakdewasaan diri ditutup oleh lainnya. Satunya tidak bertanggungjawab, pasangannya siap menanggung konsekuensi ketidakbertanggungjawabannya. Satunya suka berutang, pasangannya siap membayarkan utang-utangnya. Satunya marah meledak-ledak, pasangannya siap untuk meredam dan membiarkan amarahnya tumpah. Satunya depresif, pasangannya siap sedia menghibur selalu. Satunya gemar berselingkuh, pasangannya siap senantiasa di samping demi menjaga citra pasangan dan "keutuhan" keluarga.

Pernikahan yang demikian ini berawal dari rasa tertarik yang seakan tidak dapat ditolak. Bagaikan ada chemistry atau kimiawi cinta yang membuat mereka mengabaikan apa kata orang. Love is blind. Cinta itu buta. Ketika ditambah dengan membutakan diri dan menulikan telinga terhadap masukan-masukan orang terdekat, maka makin bertambah celaka. Setelah menikah sekian waktu, barulah terasa mengecewakan: merasa terlalu didominasi, terlalu kekanak-kanakan. Keduanya memang bukan orang yang utuh . Datang dari ketidakutuhan masing-masing.

Implikasi pembahasan ini:

  1. Untuk diri sendiri yang masih lajang
    Jadilah dewasa lewat mencari pertolongan dan tidak terburu-buru berpacaran apalagi menikah ketika menemukan diri kurang dewasa.
  2. Untuk orangtua dan Gereja
    Tidak terburu-buru menikahkan.
  3. Untuk pasangan yang sudah menikah
    Masing-masing perlu bertumbuh ketika pun sudah "telanjur" menikah. Yang kekanak-kanakan ke arah dewasa, yang mendominasi dan menguasai ke arah memberdayakan dan menurunkan standar.

Jadi pernikahan adalah kesatuan dari dua orang yang utuh dan cukup dewasa, orang-orang yang siap saling memberi sumbangsih, saling menyumbang berbagai bakat, kemampuan, pengalaman 2 insan yang siap membangun kemitraan atau partnership untuk saling merayakan kesatuan ini. Saling memberi kebahagiaan satu sama lain. Siap untuk memberi dan menerima. Siap untuk memberi kebebasan dan sekaligus memikul tanggungjawab. Siap saling memberi kasih yang berkorban dan sekaligus kasih yang menumbuhkan. Inilah yang sangat dibutuhkan untuk pernikahan yang akan kita jalani atau yang sedang kita jalani. 1 Korintus 13:11, "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu."