Mengapa Sulit Berkomunikasi?

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T469A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sebagaimana tubuh memerlukan darah demikianlah pernikahan memerlukan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan terjalin relasi apalagi relasi pernikahan. Siapapun yang menikah pasti mengakui bahwa tidak mudah menjalin komunikasi. Ada saja pertengkaran yang terjadi akibat salah berkomunikasi. Karena itu, mari kita bahas mengapakah kita sulit berkomunikasi dan bagaimana cara mengatasinya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Sebagaimana tubuh memerlukan darah, begitu pula pernikahan memerlukan komunikasi. Tanpa komunikasi, tidak akan terjalin relasi, apalagi relasi pernikahan. Nah, saya yakin, siapa pun yang menikah pasti siap mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menjalin komunikasi. Ada saja pertengkaran yang terjadi akibat salah berkomunikasi. Itu sebab penting bagi kita untuk menyadari mengapa sulit berkomunikasi dan bagaimana cara menjembatani masalah ini. Ada tiga kendala dalam berkomunikasi :
  1. Perbedaan cara berpikir, yang akhirnya melahirkan perbedaan pendapat. Tidak selalu kita memunyai sudut pandang yang sama terhadap suatu masalah dan sebagai akibatnya, sering kali kita pun sampai pada kesimpulan yang berbeda. Sebagai contoh, kita menganggap anak kita kurang berdisiplin dalam belajar sehingga nilai prestasi akademiknya merosot. Pasangan melihat kenyataan yang sama—merosotnya nilai akademik—tetapi sampai pada kesimpulan yang berbeda. Misalkan, ia berpendapat bahwa anak kita telah berusaha, tetapi tuntutan yang diberikan terlalu berat untuknya. Kita pun menjawab, bahwa jika itulah kenyataannya, maka anak kita harus mengeluarkan usaha yang lebih keras untuk memenuhi tuntutan yang berat itu.
    Menghadapi perbedaan ini, di hadapan kita tersedia dua pilihan. Pertama, kita berusaha meyakinkan pasangan bahwa kita benar dan dia salah, dan dia seharusnya menyeberang dan berpihak pada pandangan kita. Kedua, kita berkata bahwa kita berbeda pendapat dan tidak apa, berbeda pendapat. Masalahnya dengan pilihan kedua ini adalah, jika dalam hampir setiap konflik kita memilih pilihan ini, maka pada akhirnya kita akan makin terpisah dari satu sama lain. Hubungan kita merenggang dan kita makin malas untuk menyelaraskan pandangan. Daripada bertengkar, kita berkata, "Kita menyetujui bahwa kita memang berbeda pandang." Jadi, sesungguhnya kita mesti berusaha untuk menyelaraskan perbedaan walaupun untuk itu kita harus bertengkar terlebih dahulu. Komunikasi baru dapat terjalin bila kita mulai melihat sesuatu dari cara pandang yang sama. Jadi, untuk memperbaiki komunikasi, kita mesti berupaya untuk menyelaraskan cara berpikir kita. Nah, dalam contoh ini, pilihannya adalah dua. Pertama, pasangan menerima pandangan kita dan akhirnya mengadopsinya sebagai pandangan pribadinya — letak masalah adalah pada kurangnya usaha bukan tingginya tuntutan. Kedua, kita menerima pandangan pasangan dan akhirnya mengadopsinya sebagai pandangan kita — letak masalah adalah pada tuntutan yang tinggi, bukan kurangnya usaha. Sayangnya pada umumnya kebanyakan pasangan menyerah terlalu dini. Sebenarnya yang perlu dilakukan adalah berusaha dan berusaha untuk terus menjelaskan kepada pasangan lewat pertengkaran ini dan pertengkaran selanjutnya. Alhasil, setelah mungkin melalui sepuluh pertengkaran, selaraslah kedua pandangan kita. Dan ini berarti, kita akan makin jarang bertengkar dan makin sering berkomunikasi. Sebaliknya, bila kita menyerah dini, maka relasi kita akan makin merenggang dan akan makin banyak persoalan yang tidak dapat kita selesaikan.
  2. Perbedaan gaya berkomunikasi itu sendiri. Pada umumnya kita berbeda dalam cara pengungkapan dan pemilihan kata, serta dalam nada dan penekanan suara. Sebagai contoh, untuk mengiyakan mungkin cukup buat kita berkata, "Hmm." Masalahnya adalah buat pasangan kita, itu bukanlah jawaban. Itu gumaman. Itu sebab ia menghendaki agar kita memberi jawaban, ya atau tidak—disertai dengan penjelasan ! Sudah tentu tuntutan seperti ini berpotensi membuat kita enggan berkomunikasi. Kita takut berkomunikasi karena tidak mau disuruh bicara terlalu panjang, sedang pasangan takut berkomunikasi karena tidak ingin jengkel kepada kita, akibat tidak utuhnya tanggapan. Ditambah dengan perbedaan nada dan penekanan suara, komunikasi dapat membuka peluang terjadinya konflik. Dan, untuk meredam kemungkinan ini, kita pun mengurangi komunikasi. Sesungguhnya kita harus berusaha mencari titik temu. Singkat kata, pada akhirnya bila kita ingin mempertahankan komunikasi, maka kita harus menciptakan sebuah bahasa komunikasi yang baru. Bahasa baru ini tercipta lewat belasan kali konflik tetapi sekali tercipta, kita tidak perlu lagi bersitegang. Komunikasi makin sering dan konflik pun makin jarang.
  3. Praduga yang telanjur tercipta dalam diri kita terhadap motif atau niat pasangan. Sesungguhnya tidak dibutuhkan waktu yang terlalu lama untuk kita mulai mengembangkan praduga terhadap diri masing-masing. Sebagai contoh, bila setiap kali kita ingin membeli sesuatu, pasangan selalu melarang, kita pun cepat berkesimpulan bahwa ia adalah seorang yang egois. Kita berkata, bila kita ingin membeli sesuatu, ia melarang, tetapi jika ia sendiri yang mau membeli sesuatu, ia selalu membolehkan. Nah, itu sebab penting bagi kita untuk mencari tahu fakta dan meminta pasangan untuk menjelaskan maksud perkataannya sebelum kita menarik kesimpulan. Masalahnya adalah, jauh lebih mudah untuk mengembangkan praduga ketimbang mencari tahu fakta dan mendiskusikannya dengan pasangan. Kita beranggapan bahwa pasangan "memang begitu" dan "tidak akan berubah." Kita pun enggan untuk membicarakannya lagi dengan pasangan; akhirnya komunikasi terganggu. Komunikasi mudah terputus bila praduga negatif telanjur berkembang. Ya, praduga adalah sebuah vonis dan orang tidak berdaya atau tidak lagi mempunyai kesempatan untuk membela diri.
    FirmanTuhan di Amsal 10:12 berkata, "Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran." Praduga negatif berpotensi bertumbuh menjadi kebencian dan pertengkaran adalah buah dari kebencian. Sebaliknya, kasih menutupi segala pelanggaran, dalam pengertian, kasih membuat kita tidak mau berjalan menuju kebencian. Sebaliknya, kasih membuat kita mencari titik temu. Dan, komunikasi adalah titik temu itu. Jadi, upayakanlah komunikasi; jangan mudah menyerah dan membiarkan tali komunikasi putus.