Dampak Krisis Iman Anak pada Pernikahan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T537B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu kekecewaan yang dialami orang tua adalah ketika anaknya mengambil keputusan untuk meninggalkan iman pada Kristus. Tidak jarang krisis iman anak menimbulkan krisis pada pernikahan kita pula. Dampak krisis iman anak bisa menyebabkan orang tua saling menyalahkan satu dengan yang lain, cara menghadapinya bisa sangat berbeda. Pasangan kita bisa merasa sendirian dan jauh satu sama lain, demikian pula bisa memengaruhi relasi pernikahan kita dalam hal pelayanan. Perubahan ini seringkali menyebabkan tekanan yang besar pada pernikahan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu kekecewaan dan hantaman terbesar yang dapat kita alami sebagai orangtua adalah kehilangan anak yang kita kasihi, bukan karena kematian tetapi karena keputusannya untuk meninggalkan iman pada Kristus. Sewaktu itu terjadi, hidup akan berubah; kepedihan akan menjadi bagian hidup kita, sepanjang masa pengembaraannya. Tidak jarang, krisis iman anak menimbulkan krisis pada pernikahan kita pula. Pada kesempatan ini kita akan melihat dampak krisis iman anak pada pernikahan dan langkah yang mesti kita ambil untuk mencegahnya.
  1. Pada umumnya reaksi awal kita sewaktu anak meninggalkan imannya adalah kaget, campur marah dan kecewa. Dalam kondisi marah dan kecewa, kita pun MENYALAHKAN SATU SAMA LAIN. Kita menuduh pasangan sebagai penyebab munculnya krisis iman pada anak. Mungkin kita beranggapan, kalau saja pasangan lebih memberi perhatian pada kerohanian anak, maka anak tidak akan meninggalkan imannya pada Kristus. Atau, kita menyalahkan pasangan sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas kerohanian anak sebab selama ini tugas membesarkan anak jatuh pada pundak pasangan. Sudah tentu reaksi ini belum tentu sepenuhnya salah karena mungkin saja pasangan memang berandil besar pada krisis iman anak. Sungguhpun demikian, adalah jauh lebih baik bila kita pun menilik diri sendiri dan mengakui tanggung jawab kita dalam keputusan anak meninggalkan imannya pada Kristus. Mungkin, hubungan kita sebagai suami-istri tidak begitu baik sehingga anak merasa kecewa. Di dalam kekecewaan ia pun memutuskan untuk meninggalkan iman—keputusan yang sebetulnya lebih merupakan ungkapan protesnya terhadap hubungan kita yang buruk sebagai suami-istri. Kita pun mesti terbuka terhadap kemungkinan bahwa keputusan anak untuk tidak menjadi pengikut Kristus tidak berhubungan dengan kita orangtuanya. Adakalanya anak dipengaruhi oleh lingkungan, yang membuatnya terseret dan jatuh ke dalam dosa. Dalam kondisi jatuh, ia pun menjauh dari Tuhan. Atau, ia meninggalkan iman karena keraguan yang muncul dari dalam dirinya sendiri—ia tidak dapat menerima ajaran Alkitab Singkat kata, belum tentu keputusannya meninggalkan iman terkait dengan kita.
  2. Keputusan anak meninggalkan iman pada Kristus juga dapat berakibat buruk pada pernikahan sebab CARA KITA MENGHADAPINYA BISA JADI SANGAT BERBEDA. Mungkin kita lebih memilih untuk membiarkan anak menemukan jalannya, sedang pasangan berkeyakinan bahwa kita harus lebih berperan aktif membawanya kembali kepada Kristus. Tidak bisa tidak, perbedaan-perbedaan ini berpotensi menimbulkan konflik. Sebaiknya, kita saling memahami dan menerima perbedaan sebagai perbedaan, bukan tanda ketidakpedulian atau lainnya. Izinkanlah pasangan untuk berbeda dan jangan memaksanya untuk mengadopsi gaya kita menghadapi masalah. Sebaliknya, capailah titik temu dan bersatulah dalam titik temu itu; misalkan, kita dapat berdoa bersama setiap malam untuk anak kita. Ya, kita mungkin berbeda dalam cara dan pendekatan tetapi tujuan kita sama: Anak kembali kepada Kristus!
  3. Di dalam perbedaan, tidak jarang kita pun MERASA SENDIRIAN dan tidak mendapatkan dukungan dari pasangan, seakan-akan kita harus berjuang dan bersedih hati sendirian. Nah, sering kali kesendirian ini membuat kita makin JAUH DARI SATU SAMA LAIN. Akhirnya relasi kita makin kering dan hambar berhubung tidak adanya keintiman di antara kita. Sudah tentu kehambaran dan menipisnya keintiman membuka kemungkinan munculnya masalah-masalah lain. Misalkan, kita menjadi lebih tidak sabar terhadap pasangan atau kita mulai mencari pengertian dan keintiman dari pihak lain. Mungkin benar, bahwa kita sendirian menghadapi krisis iman anak karena pasangan bukanlah orang yang memerhatikan—apalagi mementingkan—hal rohani. Sudah tentu jika itu yang terjadi, kita harus berjuang sendirian. Namun acap kali masalahnya bukan itu. Sesungguhnya pasangan memerhatikan kerohanian anak dan bersedih, tetapi ia tidak terbiasa menyuarakan kesedihannya secara terbuka. Ia lebih nyaman melewati kesedihan dan kekecewaannya sendirian—di dalam, bukan di luar hati. Itu sebab penting pada masa yang genting ini kita menjalin komunikasi agar pasangan mengerti isi hati kita dan tidak timbul kesalahpahaman. Kita dapat terbuka kepadanya dengan kebutuhan kita—bahwa kita merasa sepi dan hambar, ditinggalkan dan disendirikan. Katakan bahwa kita mengerti bahwa ia pun menderita dan memerlukan waktu untuk pulih. Namun, ajaklah dia untuk menjalaninya bersama-sama. Ingatkan bahwa untuk memenangkan iman anak, kita harus bersatu-padu, bukan bercerai-berai. Makin kita terbelah, makin kita lemah dan makin anak menjauh dari Tuhan.
  4. Krisis iman pada anak dapat pula memengaruhi relasi pernikahan kita dalam hal pelayanan. Kadang, kita harus mengurangi atau membatasi pelayanan pada masa anak "menghilang." Jika itu yang mesti kita lakukan, tidak bisa tidak, hidup kita akan mengalami perubahan yang drastik. Kegiatan-kegiatan yang biasa kita lakukan—yang telah menjadi bukan saja pengisi waktu, tetapi juga identitas diri kita—sekarang tiada lagi. Sering kali perubahan ini menimbulkan tekanan yang besar pada pernikahan.

Kisah Anak yang Hilang yang dicatat oleh Lukas 15 memang tidak memberikan kepada kita jendela untuk melihat apa yang terjadi pada keluarga si anak. Namun, dari kenyataan bahwa si ayah menanti-nantikan kepulangan anaknya, kita dapat menyimpulkan bahwa si ayah tidak pernah berhenti berharap. Krisis iman anak meretakkan pernikahan, tetapi iman menyatukan.