Bak Atap dimakan Rayap

Versi printer-friendly
Penulis: 
Ev. Anne Kartawijaya, M.Div
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Penghinaan atau pelecehan terhadap "harga diri" manusia terjadi di mana-mana dan di berbagai kalangan, termasuk dalam dunia anak. Anak-anak saling menghina baik secara halus maupun kasar, secara verbal maupun fisik, bisa dalam bentuk penyerangan maupun permainan, dan bisa dilakukan oleh anak kelompok bermain sampai anak SMU.
Isi: 

Penghinaan atau pelecehan terhadap "harga diri" manusia terjadi di mana-mana dan di berbagai kalangan, termasuk dalam dunia anak. Anak-anak saling menghina baik secara halus maupun kasar, secara verbal maupun fisik, bisa dalam bentuk penyerangan maupun permainan, dan bisa dilakukan oleh anak kelompok bermain sampai anak SMU.

Penghinaan terhadap harga diri (bullying) menggerogoti seseorang, sedikit demi sedikit, bagaikan atap yang dimakan rayap. Perlahan namun pasti, penghinaan selalu berakibat buruk. Tanpa antisipasi dari orang tua maupun guru, penghinaan pada akhirnya akan menghancurkan penghargaan diri anak terhadap dirinya sendiri.

Penghinaan atau pelecehan terhadap harga diri bisa dalam berbagai bentuk:

  1. Bentuk fisik secara langsung. Misalnya: merebut mainan, menonjok teman, menendang, melempar dengan pensil, kapur, setip atau "disambal", menjegal kaki menarik celana atau menyingkapkan rok, atau bahkan mencubit alat kelamin.

  2. Bentuk fisik secara tidak langsung. Misalnya: meminjam barang dan merusakkannya, mengembalikan dengan cara melempar, menghasut orang lain untuk memukuli, memaksa orang lain untuk menyembah, menyuruh teman membukakan sepatu, dll. Bentuk "bahasa tubuh" lainnya, misalnya: memandang dengan sinis, membuang muka, menunjukkan mimik tidak senang, "thumb down", mengibaskan bagian tubuh yang pernah tersentuh temannya, dan lain-lain.

  3. Bentuk verbal. Misalnya: ejekan, sindiran, memberi nama panggilan yang menghina, dsb. Biasanya muncul kata-kata di antara anak sendiri seperti: "jelek lu", "dasar goblok", "you lose", "payah lu", "gitu aja engga bisa", "masa engga tau?, payah bener". Sedangkan kata-kata yang dilontarkan orang dewasa ke anak, misalnya: "mana suaranya? Koq engga jawab? Engga punya mulut ya?". "cengeng ah", "dasar anak nakal", "kemu memang pengacau", "kamu lagi.......kamu lagi", "dasar emang engga bisa diem", dll.

  4. Bentuk lainnya lagi adalah melarang anak bermain dengan kelompok yang berbeda warna kulit, membentuk geng yang memusuhi seseorang atau sekelompok orang (yang dapat berkembang menjadi "tawuran"), memberikan hukuman yang tidak adil. Dalam hubungan dengan guru misalnya: menghukum satu kelas karena kesalahan satu dua anak, menurunkan nilai tanpa alasan jelas, dan lain-lain.

Orang tua dan guru perlu menanggapi serius penghinaan atau pelecehan terhadap harga diri anak. Pelaku maupun korban dua-duanya perlu mendapatkan penanganan yang baik, beralaskan pada kasih dan hikmat dari Allah. Prinsip dasar dalam menangani kasus penghinaan terhadap harga diri terletak pada nilai hormat (respect). Sebagaimana kita menghormati Allah sebagai Pencipta, demikian juga kita perlu menghormati ciptaanNya, apa pun dan bagaimana pun keadaannya.

Jika anak anda adalah korban:

Penghinaan harus dihadapi atau ditanggapi dengan sikap sebaliknya yaitu sikap hormat, bukan dibalas dengan penghinaan. Mengapa? Karena penghinaan bila ditambah dengan penghinaan akan menjadi penghinaan kuadrat - berlaku rumus matematika. Hal yang sama juga berlaku untuk kekerasan. Kekerasan bila dibalas dengan kekerasan, hasilnya adalah kekerasan, hasilnya adalah kekerasan yang lebih parah lagi.

Suatu hari Dony keluar kelas dengan muka merengut. Ketika dia lihat ibu datang menjemput, langsung ia berucap: "Aku sebel dengan Julia. Dia bilang aku gendut dan bau." Ibu yang bijaksana berkata: "Kamu tidak senang yah kalau dihina seperti itu." Dengan agak emosi, Doni menimpali: "padahal dia sendiri aja kurus, bawel lagi." Kamu sebenarnya ingin balas menghina dia?", tanya ibu sambil menuntunnya ke luar pagar sekolah. "Tidak sih, aku tidak mau menghina." "Tentu saja tidak, karena sebenarnya Julia cantik seperti kamu juga harusm."

Bukankah hati kita ikut berdebar-debar ketika kita mendengar anak darah daging kita dihina orang? Namun ingatlah bahwa kejadian tersebut merupakan latihan agar anak kita mempunyai pengenalan diri yang lebih mantap dan kokoh.

Yang terpenting adalah peneguhan terhadap harga diri 'anak itu' sendiri. Sebelum anak siap melangkah ke luar, orang tua perlu memberi bimbingan dan peneguhan ke dalam. Prinsip yang harus diingat adalah: "Memperkokoh citra diri anak adalah lebih baik daripada mengatur atau mengontrol lingkungan anak." Ketika anak merasa sedih dan terhina, orang tua sebaiknya lebih banyak menghibur, menguatkan dan memperkokoh pengenalan diri anak daripada sibuk mencari penyebabnya dan mengontrol. Jika orang tua sendiri senantiasa menghargai anak, kesulitan anak akan lebih mudah teratasi, dalam arti anak cenderung lebih kebal terhadap penghinaan dari luar. Namun orang tua perlu tetap memperhatikan daya tahan anak, karena firman Tuhan sendiri mengatakan: "Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33)

Penghinaan harus diatasi dengan doa. Sebagai keluarga Kristen, doa harus mewarnai hidup kita sehari-hari. Dan keluarga Kristen akan meletakkan segala perkara di bawah kaki Yesus, sekecil apa pun masalahnya.

Pak Yuzo bergumul antara mengajarkan anaknya balas menonjok temannya, atau memberi dorongan pada anaknya untuk tetap bertahan dan tidak membalas menyerang. Di satu pihak hatinya tidak tega setiap kali melihat anaknya babak belur. Beberapa teman mengatakan: "Sudahlah.......itu memang salib yang harus dipikul oleh anak-anak Tuhan", teman lain mengatakan, "fungsi kamu adalah melindungi anak! Kamu harus mengajarkan anak mempertahankan hak dan melindungi dirinya sendiri."

Akhirnya Pak Yuzo putuskan untuk mengajak anaknya berdoa setiap malam. Begini isi doanya: "Tuhan, saya kasihan pada Randy.......setiap kali pulang sekolah selalu babak belur. Kami tahu Tuhan, Engkau mengajarkan kami mengasihi bahkan mengasihi orang-orang yang menganiaya kami. Hamba hanya minta Engkau bekerja.......kalaupun akhirnya Randy harus memberi pelajaran kepada Tony, berikan hikmat bagaimana caranya Randy bisa mendidik Tony supaya tidak bersikap seenaknya."

Penghinaan harus diatasi langkah demi langkah. Tuhan mengajarkan kita untuk megajarkan kita untuk mengatasi masalah langkah demi langkah. Jikalau tidak berhasil tatap muka dengan orang yang bersangkutan, ajaklah satu orang lain sebagai saksi. Jika tidak berhasil juga, baru hadapkan kepada orang banyak. Langkah ini pula yang perlu kita ajarkan kepada anak-anak.

Langkah pertama, dorong anak untuk menyelesaikan sendiri langsung dengan orang yang menghina atau menganiaya. Jikalau dia sudah mencoba tetapi tidak berhasil.
Langkah kedua, pilihlah orang kedua yang paling tepat, misalnya: guru kelas atau guru BP, atau kepala sekolah.
Langkah ketiga, cari jalan keluar lain yang mungkin akan melihatkan lebih banyak orang termasuk diri kita sendiri sebagai orang tua.

Langkah pertama bagaimana pun sangat penting. Jika orang tua selalu dan langsung mengambil alih masalah anak, justru harga diri anak tidak bertumbuh. Dia akan menjadi anak yang terus bersembunyi di balik otoritas orang lain. Tapi sebagai orang tua kita juga perlu melihat sejauh mana batas kemampuan anak kita, dan kita tetap perlu melaksanakan peran sebagai pelindung pada saat yang memang dibutuhkan.

Penghinaan harus diukur derajat 'kebahayaannya'. Tidak semua jenis penghinaan dapat ditanggapi secara bertahap dan perlahan-lahan. Ada jenis penghinaan yang sangat merusak yang harus ditangani secara langsung karena usia anak yang masih terlalu kecil. Jika anak TK anda pulang sekolah melaporkan bahwa kemaluannya dipermainkan temannya, atau gurunya, sudah barang tentu saudara tidak perlu membuang waktu untuk langsung mencari kebenaran fakta dan mengatasinya dengan segera.

Jika anak SD anda diancam temannya akan disilet dengan cutter jika tidak memberikan contekan pada waktu ulangan, anda harus berhati-hati dan mengambil tindakan sebelum ulangan itu berlangsung.

Sebagai langkah pencegahan, kenalilah anak anda, lingkungan sekolah, dan teman-temannya dengan baik. Jika hubungan anda baik, bahkan dengan anak-anak yang bermasalah, kemungkinan-kemungkinan yang parah akan lebih kecil terjadi.

Jika anak anda pelakunya:

Teliti setiap informasi yang anda terima, bahkan jika informasi itu berdasarkan pada apa yang anda lihat dengan mata kepala sendiri.

Ketika ibu Jessy menjemput Garry, dia pas melihat anaknya sedang meninju kakak kelasnya. Dengan spontan ibu Jessy berteriak: "Garry......stop!" Ibu Jessy segera berlari, menarik Garry menjauh dari anak-anak lain. Dengan muka berang, hati berdebar-debar, dan kepala panas Ibu Jessy menatap mata anaknya yang tampak marah. Tiba-tiba muncullah Pak Robert, ayah dari anak yang lebih besar tadi. Hati ibu Jessy segera menjadi galau dan serba salah: "Apa yang harus aku perbuat?" Ibu Jessy belum sempat mengidentifikasi masalah karena kejadiannya begitu cepat dan mendadak, dan sekarang dia diperhadapkan pada situasi di mana ia harus memberi reaksi. Maka......Ibu Jessy berhadapan dengan Pak Robert dan diulurkannya tangannya sambil berkata: "Maaf Pak, anak saya telah memukul anak bapak. Saya tahu itu akan membuat bapak marah. Saya pun akan merasakah hal yang sama jikalau saya menjadi bapak. Tapi akan saya selesaikan hal ini sendiri dengan anak saya nanti."

Bisa saja saat itu ibu Jessy memarahi Garry untuk menutupi rasa malunya pada Pak Robert. Tapi ibu Jessy sadar, ia hanya melihat sebagian akhir dari keseluruhan kejadian, dia harus mendengar ceritanya secara menyeluruh dari anaknya. Jika ia terlalu cepat bertindak, ada kemungkinan ia akan menghancurkan harga diri anaknya sebagai anak yang bertanggung jawab.

Hati-hati dengan reaksi anda saat anak melakukan kesalahan. Setiap anak pasti pernah bersalah dan pasti pernah bersikap buruk. Reaksi orang tua akan menentukan apakah kelakuan dan sikap itu akan melekat terus atau akan lenyap. Salah satu cara melekatkan sikap itu menjadi karakter adalah dengan memberikan nama panggilan.

Vonny adalah anak perempuan yang mempunyai tenaga besar. Setiap kali ia merebut mainan, temannya bukan hanya jengkel tapi merasa sakit secara fisik. Demikian juga ketika ia menarik tangan temannya untuk bermain, temannya malah menghindar karena merasa sakit ditarik kasar oleh Vonny.

Gurunya merasa Vonny selalu membuat anak lain menangis karena sikapnya yang kasar, maka gurunya selalu menempatkan Vonny di tempat yang terasing dan menjulukinya "si pembuat onar". Vonny tidak senang dengan julukan itu dan ia makin membuat onar sebagai pembalasan kepada gurunya yang ia benci.

Setiap perilaku sebenarnya bisa berubah seiring dengan perubahan sikap hati. Seberat apa pun disiplin yang diterapkan orang tua atau guru, tidak seorang pun dari ciptaan Allah yang boleh mendapatkan istilah atau nama panggilan yang bernada penghinaan. Allah tidak pernah membenci orang berdosa, Dia hanya tidak setuju dengan dosanya dan berusaha menolong dalam kasih yang berotoritas supaya setiap orang diselamatkan dari belenggu dosa yang menyebalkan itu.

Tanamkan hal positif untuk "mengusir" hal negatif. Seperti sebuah gelas dengan air kotor dapat menjadi bersih ketika air bersih terus dialirkan, demikian juga dengan hati manusia. Hati manusia yang kotor dapat dibersihkan jikalau kasih Tuhan terus mengalir dalam hidupnya.

Diskusikan dengan anak setiap perilaku yang menyakitkan orang lain. Ajak anak untuk memandang dan berdiri pada posisi orang yang disakiti, dan dorong dia untuk mencari jalan keluarnya.

Pak Husin mempunyai anak yang sering mengganggu teman-temannya. Ibu-ibu di sekolah mengeluh dan minta Pak Husin bertindak.

Selama ini Pak Husin memang terlalu sibuk, apalagi karena istrinya sudah tidak ada. Dia tidak tahu apa yang terjadi di rumah maupun di sekolah. Sepulang kerja, Pak Husin panggil anaknya dan bertanya: "bagaimana sekolahmu? Apa yang menyenangkan di sekolah?" tanpa menyinggung masalah sikapnya kepada teman-temannya. Anak-anaknya tidak menjawab. Tapi akhirnya terungkap bahwa dia merasa papanya terlalu sibuk. Kemudian Pak Husin melanjutkan: "Kamu marah pada papa, tapi kamu salurkan amarahmu pada teman-temanmu, apakah demikian? Papa ingin kamu mempunyai banyak teman yang mengasihimu, papa akan berusaha berubah dan papa minta kamu pun berubah di sekolah. Papa yakin kamu bisa karena KAMU ADALAH ANAK BAIK." Lalu Pak Husin melanjutkan dengan menceritakan kisah Tuhan Yesus yang menjadi teman para pemungut cukai.

Harga diri bagi seorang anak seperti sebuah mahkota. Jika ia merasa mahkotanya terbuat dari kulit pisang yang tidak berharga, maka ia akan bertingkah seperti orang yang tidak punya arah. Jika ia merasa mahkotanya terbuat dari emas berlian yang mahal, maka ia akan bertingkah layaknya seorang putri atau pangeran.

Berani menerima kenyataan. Pada saat kita menerima masukan dari orang lain tentang bagian yang negatif dari anak kita, reaksi umum kita adalah "menolak" atau "membela diri". Reaksi tersebut sangat wajar karena kita ingin melindungi anak kita. Akan tetapi adalah lebih baik jika kita "menerima kenyataan" sejak dini, daripada mengalami sakit hati yang berkepanjangan di masa mendatang. Terimalah kenyataan jikalau memang anak kita adalah anak yang sering kali menjadi "musuh" bagi teman-temannya. Sikap menerima dari orang tua akan banyak membantu anak keluar dari masalahnya. Selain itu, sikap menerima kenyataan tersebut juga akan menolong kita menyerahkan anak dengan pergumulannya kepada Tuhan dalam doa, dan memudahkan kita melangkah pada tahap pengobatan selanjutnya.

Carilah bantuan orang lain. Kadang-kadang masalah bullying (pelecehan terhadap harga diri) merupakan hasil pembentukan orang tua sendiri baik sadar maupun tidak sadar. Dalam keadaan seperti di atas, orang tua sering terlambat menyadari kesalahannya sehingga sulit memperbaiki kembali. Kesulitan mungkin disebabkan oleh koreksi orang tua yang sulit diterima oleh anak (karena orang tua sendiri menjadi sumber dari kesalahan yang dibuat anak), atau karena perilaku anak sudah menjadi kebiasaan yang sudah mengakar. Dalam hal ini orang tua tidak perlu segan-segan meminta pertolongan kepada orang lain. Pertolongan sebaiknya didapatkan dari kelompok orang yang cukup dekat dengan anak dan pertemuan dengan mereka pun cukup sering dan wajar. Misalnya: kelompok teman-teman gereja, guru, pembimbing, dan sebagainya..

Akhirnya,

Semoga anak-anak lelaki kita seperti tanaman yang tumbuh besar pada waktu mudahnya; dan anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru yang dipahat untuk bangunan istana! (Mazmur 114:12).